Erik P. Simanullang
(1301113860)
Jurusan Ilmu Komunikasi, Fisip Universitas Riau
A. Status Stasiun Penyiaran
Dilihat
dari tujuan pendirian stasiun penyiaran terdapat empat status stasiun
penyiaran, yaitu:
1. Stasiun
penyiaran pemerintah, Stasiun
penyiaran milik masyarakat non-profit, Stasiun
penyiaran swasta, dan Stasiun
penyiaran milik gabungan pemerintah dan swasta
Stasiun
penyiaran milik pemerintah memiliki tujuan yang bersifat idiil, stasiun
penyiaran milik masyarakat non-profit memiliki tujuan bersifat idiil, stasiun
penyiaran milik swasta memiliki tujuan bersifat materiil/profit, dan stasiun
penyiaran milik gabungan antara pemerintah dan swasta memiliki tujuan antara
idiil dan materiil berimbang.
Di
dunia penyiaran saat ini ada kecenderungan perubahan stasiun penyiaran.
Pemerintah tidak lagi akan secara dominan menguasai stasiun penyiaran. Namun,
ada juga stasiun penyiaran yang masih dimiliki oleh pemerintah, tetapi
pengelolaan operasional dilakukan dengan gaya swasta. Disini kepentingan
pemerintah dan usaha mengembangkan swasta berjalan dengan seimbang. Dengan
demikian, tujuan organisasi penyiaran dalam mengelola stasiun penyiaran lebih
bersifat berimbang antara idiil dan materiil.
Stasiun
penyiaran yang dikelola swasta, kepentingan pemerintah diwakili oleh tim
pengawas siaran yang lazim disebut dengan komisi penyiaran. Komisi ini bertugas
turut menyeleksi materi siaran sebelum disiarkan. Stasiun penyiaran milik
masyarakat yang bertujuan non-profit lebih mengkhususkan diri pada pemberian
pelayanan informasi yang bermanfaat bagi masyarakat. Misalnya, usaha Televisi
Pendidikan.
Status
stasiun penyiaran mempengaruhi bentuk organisasi. Bentuk organisasi akan
mempengaruhi struktur dan tata kerja organisasi. Bahkan perbedaan status stasiun
penyiaran juga mempengaruhi pola pikir dan tindak personel dalam pengelolaan
stasiun penyiaran.
Pembentukan
struktur organisasi dan tata kerja sebuah stasiun penyiaran, apakah itu milik
pemerintah, swasta, dan masyarakat, serta milik masyarakat non-profit, tetap
harus berlandaskan pada kebutuhan sebuah stasiun penyiaran yang tidak boleh ada
birokrasi yang ketat.
B. Monopoli Kepemilikan Modal di
Media
Dengan
kata lain ketika berbicara tentang media massa dalam hal ini media penyiaran
Televisi, maka kita akan dapat menarik garis besar kepemilikan yang berpusat
pada segelintir orang. Dalam hal ini Trans7 dan Trans TV berada pada payung
bisnis yang sama yakni Trans Corp yang dikuasai oleh Chairul Tanjung.
Global TV, RCTI dan TPI bergabung dalam Group
MNC dan bertindak selaku pemilik di Indonesia adalah Hary Tanoesoedibyo. TV One
dan ANTV bernaung di bawah bendera Bakrie Group dengan Boss utama Abu Rizal Bakrie.
SCTV yang sebahagian besar sahamnya dimiliki oleh Eddy Sariatmadja, dan yang
terakhir Metro TV dengan pimpinannya yang termasyhur karena wajahnya sering
ditampilkan oleh TV yang dimilikinya sendiri.
Singkat
kata nama nama pemilik media yang disebutkan di atas tadi merupakan orang-orang
yang membangun kerajaan bisnisnya dengan berupaya dekat dengan kekuasaan dan
beberapa di antara ada yang duduk sebagai orang penting di pemerintahan serta
ada pula yang merupakan Tokoh penting pada salah satu partai yang sekian lama
berkuasa di republik ini (baca Golkar).
Tidak
menutup kemungkinan mereka membangun Media untuk memuluskan kepentingannya
dalam hal Perpolitikan dan penyebaran ideologi tertentu, melaui media. Hal ini
dapat dilihat dari wajah media yang mereka bentuk, di mana saat ini banyak
media yang mengawal kepentingan penguasa seperti yang baru baru ini terlihat
bagaimana televisi ramai ramai menyiarkan Rapimnas Partai Golkar padahal di
sisi lain masih banyak agenda-agenda penting lainnya yang harus diketahui oleh
Publik seperti Penyelesaian Kasus lumpur Lapindo yang sampai saat ini masih
jauh dari kata “beres”.
Padahal
salah satu hak yang harus didapat masyarakat dari media adalah mereka mendapatkan
Diversity Informasi. Tentu saja Konglomerasi media ini sangat tidak sehat dalam
iklim berdemokrasi dan perpolitikan bangsa bangsa ini mengingat pengaruh media
yang begitu kuat terhadap kognitif khalayak. Jika mengacu pada Jurgen habemas
menyatakan media massa sesungguhnya adalah sebuah public Sphere yang semestinya
dijaga dari berbagai pengaruh dan kepentingan-kepentingan.
Dalam
artian media selayaknya menjadi “The Market Palces Of Ideas” tempat penawaran
berbagai gagasan sebagaimana setiap konsep pasar, yang mana hanya ide terbaik
sajalah yang pantas dijual dan ditawarkan.
C. Kapitalisme, Hegemoni Media, dan
Budaya
Menurut
Karl Max, kapitalisme adalah suatu sistem ekonomi yang memungkinkan beberapa
individu menguasai sumber daya produksi vital, yang mereka gunakan untuk meraih
keuntungan maksimal.
Media
massa selalu dirasakan sebagai alat yang “powerfull”
dan ada ideologi dominan di dalamnya. Hal ini yang disebut sebagai hegemoni
media. Teori hegemoni ini merujuk pada kekuasaan dan praktis. Hegemoni merujuk
pada upaya pelanggengan kekuasaan yang dilakukan oleh kelompok yang berkuasa.
Di sini, institusi media memberikan sebuah fungsi hegemoni yang secara terus
menerus memproduksi sebuah ideologi yang kohesif (ideology yang meresap), satu
perangkat nilai-nilai dan norma norma yang memproduksi dan mengesahkan dominasi
struktur sosial tertentu. Bahkan lebih lanjut menurut Gitlin mendefenisikan
hegemoni sebagai “rekayasa sistematik” kepatuhan massa untuk memapankan
kekuasaan kelompok yang berkuasa.
Stuart
Hall berpendapat Media massa cenderung mengukuhkan ideologi dominan untuk
menancapkan kuku kekuasaannya melalui Hegemoni. Melalui media massa pula juga
menyediakan frame work bagi berkembangnya budaya massa. Melalui media massa
pula kelompok dominan terus-menerus menggerogoti, melemahkan dan meniadakan
potensi tanding dari pihak-pihak yang dikuasainya.
Sedangkan
menurut MC. Luhan seorang pengkritik media ia mengatakan, Media massa bukan
hanya sebagai media pengirim pesan tapi juga mempengaruhi nilai nilai budaya
dan membuat streotype mengenai
gender, Ras, dan etnik. Dan memiliki kontribusi terhadap pengalaman komunikasi
dan bisa saja memonopoli dunia pemikiran seseorang.
Dari
uraian kerangka teori di atas, maka tampak jelas lah apabila media massa akan
senantiasa menjadi ajang Hegemoni bagi kelompok yang berkuasa, artinya
masyarakat patuh pada pada kehendak penguasa dan mereka secara tidak sadar
berpartisipasi dalam rangka kepatuhan tersebut.
Ketika
kita berbicara tentang hegemoni Media massa maka kita tidak bisa melepas
variabel Globalisasi dan kapitalisme sebagai salah satu jalan tol bagi pihak-pihak
yang berkuasa untuk melakukan hegemoninya. Dalam cara pandang hegemonian,
kebudayaan global akan bersifat tunggal karena watak kapitalisme yang
monolitik. Seluruh ekspresi kebudayaan termasuk ekspresi simboliknya akan
mengacu pada ekspresi dominan dalam nama pasar.
Tidak
ada celah lagi untuk menjadi independen secara simbolik karena rekayasa elitis
yang terlanjur disepakati oleh moralitas, kognisi, dan afeksi masyarakat bawah.
Padahal ketiga faktor inilah yang terpenting dalam memproduksi simbol.
Kebudayaan lokal yang tidak marketable akan terpinggirkan karena desakan kultur
asing yang sangat profit oriented.
Dalam
kaca mata Hegemoni Gramsci, penguasa adalah sejenis makhluk super jenius yang
dengan segala tipu daya bisa mematikan kesadaran resistensi masyarakat. Dalam
kondisi hegemoni, orang tidak akan punya kekuatan kritis lagi. Semuanya serba
pesimis. Seperti halnya Soeharto pada pertengahan masa Orba sampai menjelang
ajalnya tampil sebagai penguasa yang ditakuti.
Ia--seperti
halnya Lee Kuan Yew--punya prinsip lebih baik ditakuti daripada dicintai. Siapa
orang yang berani terang-terangan menentang Soeharto waktu itu. Dalam tataran
politik praktis tentu tidak ada. Namun dalam ranah kultur keseharian, Soeharto
tidak benar-benar absolut. Di tingkat bawah, orang sudah muak dan kemuakan itu
muncul dalam berbagai bentuk resistensi. Resistensi yang paling sederhana
adalah humor.
Subversi
kecil-kecilan itu paling tidak akan memunculkan rasa bahwa mereka tidak
terkuasai. Kita bisa melihat berapa banyaknya humor-humor politik yang hidup
subur di masyarakat dan cepat menyebar. Semuanya bernada kritis pada penguasa.
Kondisi ini mirip Rusia pada masa Kruschev. Kalau ekspresi politik resmi tidak
bisa disalurkan, jalur kultural siap menampungnya.
Media
massa adalah alat penguasa untuk menciptakan reproduksi ketaatan. Media massa
seperti halnya lembaga sosial lain seperti sekolah dan rumah sakit dipandang
sebagai sarana ampuh dalam mereproduksi dan merawat ketaatan publik. Media
massa hanya bersifat satu arah melayani kepentingan ekonomi. Bahkan istilah
media mungkin perlu digeser menjadi mediasi karena di sanalah segala macam
simbol dari berbagai latar identitas budaya bisa saling bertemu.
D. Penyiaran di Era Orde Baru
Situasi
yang dihadapi media penyiaran selama rezim Orde Baru pada dasarnya dalam
melayani tarik-menarik antara negara dan masyarakat, dengan dominasi negara
yang semakin mengeras dalam seluruh dimensi kehidupan.
Lebih
jauh, dalam berbagai aspek kehidupan politik, ekonomi dan kultural, negara
mencampuri dan mendominasi institusi sosial yang seharusnya digerakkan oleh
budaya masyarakat. Institusi politik masyarakat (partai politik) kehilangan
fungsi dalam konteks kehidupan warga. Institusi ekonomi swasta “diobok-obok”
agar dapat menjadi lahan bagi kolusi, korupsi, dan nepotisme dari pejabat
institusi negara. Institusi budaya semacam organisasi keagamaan Huria Kristen
Batak Protestan (HKBP) dalam penentuan pimpinannya, diintervensi oleh pejabat
militter aktif maupun pensiunan. Struktur negara yang bersifat monolitik dan
masif ini membawa implikasi antara lain, kedalam menyebabkan institusi negara
yang tidak berdasarkan akuntabilitas, dan keluar menyebabkan lumpuhnya dinamika
institusi masyarakat.
Era
Orde Baru merupakan laboratorium yang sangat menarik untuk mengkaji keberadaan
media penyiaran ditengah masyarakat dan negara. Biasanya para pengkaji melihat
aspek-aspek politik dari hubungan negara dan media jurnalisme. Akan tetapi
dengan cara lain, dari sisi kultural dapat diperjelas keberadaaan media massa,
yaitu dengan melihat kecenderungan negara dalam mengendalikan media massa dan
warga masyarakat.
Selain
adanya tindakan-tindakan yang berlangsung melalui struktur negara (resmi dan
gelap), penguasaan alam pikiran warga masyarakat dilakukan dengan mengendalikan
media massa. Media massa dijadikan oleh penguasa negara sebagai sarana
pengendalian warga masyarakat. Begitulah, pengendalian media massa oleh
penguasa negara bukan semata-mata untuk mengawasi media tersebut, tetapi lebih
jauh adalah untuk menguasasi alam pikiran warga masyarakat, untuk kemudian
dalam pengendalian alam pikiran ini struktur negara yang bersifat monopolistis
dapat berjalan.
Dengan
kata lain, baik mekanisme melalui struktur gelap, maupun pengendalian media
massa, dimaksudkan pada ujungnya adalah untuk mengendalikan warga masyarakat. Apa
sebenarnya yang diharapkan dari terkuasainya alam pikiran warga masyarakat?
Pada tahap awal mungkin dengan alasan pragmatisme pembangunan, yaitu perlu
adanya keseragaman pemikiran, sehingga akan mengefisiensikan langkah-langkah
dalam mobilisasi pembangunan. Pembangunan disini dimaksudkan untuk mengejar
ketertinggalan yang dialami dalam kondisi ekonoi akibat masa lalu.
Untuk
itu digunakan metode politik, melalui rekaya berbagai komponen masyarakat.
Percepatan pembangunan yang dijalankan berbeda dengan konsep yang diterapkan
dalam dunia komunikasi, yang dikenal dengan difusi inovasi. Di Indonesia
dimaksudkan untuk pemulihan kondisi ekonomi setelah porak-poranda akibat
orientasi politik Orde Lama.
Di
Indonesia, hegemonisasi media oleh rezim Orde Baru dan Kapitalis kroninya
dilakukan melalui berbagai kontrol. Hidayat (2002:6) mengidentifikasi paling
tidak terdapat lima kontrol yang dilakukan;
1. Kontrol
preventif dan korektif tehadap kepemilikan institusi media, antara lain melalui
pemberian SIT (yang kemudian diganti dengan ketentuan SIUPP) secara selektif
berdasarkan kriteria politik tertentu.
2. Kontrol
terhadap individu dan kelompok pelaku profesional (wartawan) melalui mekanisme
seleksi dan regulasi (seperti keharusan menjadi anggota PWI sebagai wadah
tunggal, kewajiban untuk mengikuti P4 bagi pemimpin redaksi), dan kontrol
berupa penunjukan individu-individu untuk menduduki jabatan tertentu dalam
media milik pemerintah.
3. Kontrol
terhadap produk teks pemberitaan (baik isi maupun isu pemberitaan) melalui
berbagai mekanisme.
4. Kontrol
terhadap sumber daya, antara lain berupa monopoli kertas oleh penguasa.
5. Kontrol
terhadap akses ke pers, berupa pencekalan tokoh-tokoh oposan tertentu untuk
tidak ditampilkan dalam pemberitaan pers.
Media
massa hanyalah “korban” karena berada dalam ruang publik yang tidak menghormati
kebenaran dari kenyataan sosial. Sementara kebenaran hanya boleh datang dari
kekuasaan negara. Sumber kebenaran adalah dari ideologi negara. Pada lingkup
informasi, ideologi negara mewujud melalui jargon-jargon negara yang biasa
dinyatakan oleh penguasa negara. Dalam pengertian yang umum, jargon adalah
istilah yang mengandung makna teknis yang digunakan oleh sekelompok orang. Jargon
negara menampung gagasan-gagasan yang berasal dari struktur negara.
E. Keluar dari Hegemoni
Dalam
konteks media penyiaran, akumulasi hegemoni tersebut tercermin melalui
Undang-Undang Penyiaran No. 24 Tahun 1997. Atas nama stabilitas nasional sebagai
prasyarat mutlak terwujudnya pembangunan nasional, Orde Baru dan kroni
kapitalis disekitarnya sedemikian rupa menempatkan media penyiaran sebagai
aparatus akumulasi kekuasaan dan keuntungan, bagi kelanggengan rezim. Pasal 7
UU No. 24 Tahun 1997 misalnya, secara eksplisit menyatakan bahwa, “Penyiaran
dikuasai oleh negara yang pembinaan dan pengendaliannya dilakukan oleh
pemerintah”.
Dalam
konteks regulasi penyiaran, tumbangnya rezim Orde Baru ternyata tidak membuat
demokratisasi penyiaran menjadi niscaya. Terdapat kepentingan yang pada banyak
titik saling menegasikan antara kekuatan negara (Pemerintah dan DPR), pasar
(kapitalis), dan publik. Keseluruhan tarik-menarik kepentingan masing-masing
pihak tersebut menjadi semakin kuat terutama bila dikaitkan dengan momentum
angin reformasi dan gelombang liberalisasi media yang turut mendesak kuat agar
regulasi penyiaran warisan Orde Baru (UU Penyiaran 24/1997) direvisi.
Masing-masing
berupaya agar regulasi baru tersebut dapat secara ekonomis dan politis,
menguntungkan kelompoknya. Apa yang tertuang UU Penyiaran 32/2002, sebagai
pengganti UU Penyiaran 24/1997, sedikit banyak merupakan “kompromi” kepentingan
antara para pihak yang berkepentingan.
Paling
tidak, terdapat tiga hal mengapa demokratisasi pengelolaan penyiaran menjadi
sulit,
1. Walaupun
secara formal rezim Orde Baru telah lewat, namun kekuatan lingkar cendana dalam
dunia penyiaran masih berakar kuat. Sebagian modal televisi swasta misalnya,
masih tekait erat dengan kalau tidak dikuasi oleh – keluarga cendana atau
orang-orang yang dekat dengan cendana.
Persekongkolan
saling menguntungkan antara kroni kapitalis lokal dan kapityalis transnasional
akan berimplikasi pada keberlakuan logika akumulasi modal yang akan menentukan
hal-hal apa saja yang semestinya dikesampingkan.
2. Pemerintah
pada titik tertentu belum siap untuk kehilangan sama sekali kekuasaan untuk
mengontrol media. Media bagaimanapun juga merupakan sarana efektif bagi
pembentukan opini sekaligus perangkat sosialisasi kebijakan.
3. Kedua
faktor tersebut lalu secaara dialektis dan sistematis mempersempit ruang gerak
kelompok-kelompok civil society (seperti insan media, akademisi, dan publik)
yang menginginkan keterbatasan media dari negara (penguasa) dan kediktatoran
pasar.
Komersialisasi
media, dengan demikian, tidak saja akan membodohi publik, tetapi juga
menjauhkan media dari peran dasarnya sebagai public sphere, suatu ruang atau
kawasan yang relatif terlindungi dari intervensi negara ataupun penetrasi.
F. Politik dan Kepemilikan Industri
Penyiaran
Ada
korelasi positif antara partai politik dan kepemilikan media. Kuatnya pengaruh
pemilik media massa dalam membangun realitas politik ini telah memunculkan
wacana pelarangan pengurus partai politik memiliki media masa, terutama
industri penyiaran.
Sejak
merebaknya kasus korupsi akhir-akhir ini yang menjerat banyak politisi dari
beberapa partai besar gencar di beritakan di berbagai media massa, membuat
kepercayaan masyarakat terhadap partai politik kian menurun. Namun kasus
korupsi ini tidak berpengaruh secara signifikan bagi partai politik yang
memiliki industri penyiaran seperti Partai Golkar. Meskipun elit partai ini
ditangkap KPK karena kasus korupsi dan ketua partainya tersangkut kasus Lumpur
Lapindo, survei menunjukan elektabilitasnya tetap tinggi. Inilah yang
membuktikan ada korelasi positif antara partai politik dan kepemilikan media.
Kuatnya
pengaruh pemilik media massa dalam membangun realitas politik ini telah
memunculkan wacana pelarangan pengurus partai politik memiliki media masa,
terutama industri penyiaran. Industri penyiaran memiliki karakteristik yang
berbeda dengan media cetak yang menyebabkan wacana pelarangan politisi menjadi
pemilik media penyiaran menjadi relevan.
Media
penyiaran mempunyai kemampuan yang lebih kuat dengan menggunakan audio visual
untuk melakukan propaganda dan mengkonstruksi realitas sosial masyarakat serta
pembentukan opini publik sesuai dengan ideologi media yang ditentukan oleh
pemilik modal. Mereka dapat melakukan agenda setting, sehingga apa yang penting
bagi media menjadi penting bagi masyarakat. Akibatnya, isi siaran menjadi tidak
berimbang dan cenderung memihak kepada partai politik tertentu.
Dalam
perspektif komunikasi politik, sebenarnya kita dapat mengetahui bahayanya media
penyiaran dikuasai oleh para politisi diantaranya dengan analisis framing. Analisis ini digunakan
untuk mengetahui cara-cara atau ideologi dibalik media dalam mengkonstruksi
realitas dalam pemberitaan untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai
perspektifnya. Dari fakta yang ada mereka menentukan bagian mana yang
ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak dibawa ke mana berita tersebut
(Nugroho,1999). Karenanya, berita menjadi manipulatif dan bertujuan untuk
menguntungkan si pemilik modal yang juga pengurus partai politik.
G. Media Siaran Dewasa Ini
Radio
kian terdesak oleh televisi, namun masih memiliki banyak penggemar. Kecenderungannya
adalah jangkauan siaran radio kian menyempit sehingga yang paling mampu
bertahan adalah radio-radio yang hanya melayani satu wilayah kecil saja.
Tantangannya tidak kalah dari yang dihadapi oleh radio dan majalah, namun radio
terbantu oleh penemuan transistor yang membuatnya jauh lebih ringkas.
Jaringan
radio (menyiarkan hal yang sama di banyak tempat sekaligus) yang begitu populer
diera 1930-an dan 1940-an, kini telah punah. Lebih dari itu banyak radio
(sekitar 5000 dari semua radio yang ada) membidik sebagian khalayak saja, bukan
seluruh khalayak. Bahkan banyak pula yang melakukan spesialisasi seperti
majalah. Dengan cara seperti ini radio bisa meraih keuntungan. Namun di
kota-kota besar yang persaingannya begitu ketat, semua radio harus bekerja
keras agar dapat bertahan.
Televisi
kini merupakan media dominan komunikasi massa di seluruh dunia, dan sampai
sekarang masih terus berkembang. Peminat pengiklan televisi sangat besar, namun
sayang biayanya relatif mahal. Jika biaya iklan di televisi bisa diturunkan,
maka kemungkinan besar belanja iklannya akan tumbuh lebih cepat. Televisi
sesungguhnya juga bisnis rentan karena bisa berubah-ubah tergantung pada
kemajuan teknologi. Munculnya televisi prabayar dan televisi kabel misalnya.
H. Kritik Terhadap Media Siaran
Pada
era 1930-an dan 1940-an, kritik terhadap radio tertuju pada praktik pemrograman
atau penyusunan siaran bukan oleh penyiarnya, namun oleh pihak lain, khususnya
pengiklan. Pengelola radio memang dituntut untuk meraih penghasilan dari iklan,
namun terkadang bukan sekadar waktu siaran yang dijual namun juga
program-program siaran tertentu –dengan durasi sekian menit hingga satu jam
penuh. Sebagaian pengiklan bahkan membuat program siaran sendiri. Kondisi ini
tidak dijumpai dimajalah, mereka menyewakan kolom atau ruang dimajalahnya,
namun mereka tidak pernah membiarkan pengiklan membuat sendiri isinya. Kritik
serupa tidak sering dialamatkan kepada televisi yang mulai muncul pada 1940-an, karena pengelola
televisi juga membuat sendiri semua acaranya. Pengiklan hanya boleh menyisipkan
iklannya disela-sela acara-acara tersebut.
Keluhan
kedua terarah pada terlalu penuhnya gelombang siaran dengan aneka iklan. Begitu
banyak radio dengan gelombang siarannya yang terpisah, namun semuanya penuh dengan
iklan sehingga pendengar radio acapkali kesulitan menikmati acara kesukaannya
tanpa gangguan iklan. Kritik ini mengingatkan para pengelola radio bahwa
gelombang siaran adalah milik publik, dan seharusnya hal itu dimanfaatkan tanpa
mengabaikan kepentingan publik.
Hiburan
yang ditanyangkan pun tidak selamanya bermutu. Banyak televisi yang bahkan
memilih acara hiburan yang penuh dengan kekerasan demi menarik khalayak.
Penonton atau pendengar tidak memiliki pilihan acara yang berarti sekalipun di
kota mereka terdapat lebih dari satu stasiun radio atau televisi. Jika film
koboi atau komedi di salah satu stasiun sukses, maka stasiun-stasiun lain akan
segera mengikutinya. Akibatnya, pemirsa atau pendengar tidak memiliki pilihan
berarti karena yang tersedia hanya dua atau lebih film koboi atau film komedi –
yang satu sama lain mirip- disaat yang sama. Stasiun-stasiun radio dan televisi
lokal juga dikecam karena mengekor stasiun besar. Mereka acapkali gagal
mengembangkan program siaran sendiri atau mengembangkan bakat-bakat lokal.
I. Kemajuan Teknologi Penyiaran
Media
elektronik –film, radio, dan televisi- memiliki sejarah yang sangat berbeda
dari media cetak. Sebagai produk revolusi industri dan teknologi, media
elektronik muncul ketika alam demokrasi di AS sudah berkembang secara penuh dan
urbanisasi sudah berlangsung lama, lengkap dengan berbagai persoalan yang
dibawanya. Karena itu media elektronik sejak awal sudah bersifat demokratis,
dan sejak awal pula khalayaknya adalah masyarakat luas secara keseluruhan, bukan
kalangan tertentu saja.
Dahulu
tidak seperti media cetak, media eletronik menuntut khalayaknya memberikan
perhatian secara penuh karena apa yang disiarkannya tidak di ulang. Kita bisa
membaca buku Plato sekarang, lalu meneruskannya sepuluh tahun kemudian. Kita
tidak bisa menikmati siaran radio atau televisi seperti itu. Namun, teknologi
audio dan video kemudian mengubahnya, karena kita bisa merekam acara tertentu
untuk kita nikmati saaat kapan saja diluar saat acara itu disiarkan.
Teknologi,
sifat dasar media elektronik, dan kebutuhan akan dukungan ekonomi yang besar
mengharuskan film, radio, televisi memiliki khalayak luas atau massal. Tantangan
dihadapi oleh media siaran yang sejak awal harus menjangkau khalayak yang
seluas-luasnya. Setiap acara harus dibuat menarik demi memikat pendengar atau
pemirsa.
J. Penyiaran dan Masa Depan
Perubahan
alat-alat komunikasi berlangsung cepat. Belum usai orang mengagumi televisi,
sudah muncul video yang bisa memutar film kapan saja. Pita rekaman segera
digantikan dengan program komputer yang mempercepat proses pengolahan naskah.
Foto atau film tiga dimensi sudah berkembang pesat sehingga memperluas cakupan
manfaat dan potensi penggunaan perangkat audio-visual.
Tidak
ada yang tahu benda apa saja dalam laboratorium yang segera berpindah ke
pabrik, lalu kepasar. Meskipun dibatasi oleh peraturan pemerintah, perkembangan
teknologi siaran juga sudah berlangsung cepat, sehingga FCC sendiri harus
bekerja ekstra keras untuk menyesuaikan diri, mulai dari penggunaan gelombang UHF,
CATV, hingga penggunaan satelit yang semuanya membuat aktivitas komunikasi kian
cepat dan mudah. Sistem canggih ini juga mudah diterapkan dimana saja sehingga
seluruh dunia telah terjaring dalam sistem komunikasi modern. Pasar sendiri
tampaknya terus haus akan produk baru.
Dulu
televisi cukup lama ada di laboratorium karena ada keraguan pasar dapat
menerimanya. Ternyata begitu diluncurkan, pasar menyambutnya. Televisi berwarna tidak
akan segera hadir jika para pengiklan tidak menginginkannya lalu turut
membiayainya.
Ada
banyak faktor yang membuat kemajuan teknologi kian cepat. Semua teknologi baru
sekarang ini adalah teknologi elektronik. Teknologi ini begitu cepat berganti
antara lain karena konsumen mau segera menyingkirkan produk lama untuk memilih
produk baru yang lebih menarik. Sebagai contoh, begitu televisi berwarna
muncul, konsumen mau membelinya dan menyingkirkan televisi hitam putihnya yang
dulu harus dibelinya dengan harga mahal. Dekungan pasar menjadikan kemajuan
teknologi elektronik dan berbagai produknya kian pesat.
Tidak
lama lagi mungkin ada teknologi holograf yang memungkinkan boss Playboy, Hugh
Heffner, memutar video tiga dimensi rekaman “gadis-gadis kelinci”-nya. Mungkin
tak lama lagi seluruh televisi dan komputer rumah tersambung dengan komputer
induk yang memungkinkan seorang ibu rumahh tangga berbelanja apa saja tanpa
meninggalkan rumah.
Semua
kemajuan teknologi yang telah dan akan terjadi memberi pengaruh besar terhadap
sistem komunikasi massa, termasuk pola-pola komunikasinya. Sumber hiburan dan
informasi bagi masyarakat akan jauh lebih banyak, menarik dan beragam. Untuk
mengetahui sesuatu, kita tidak hanya membacanya dari buku, namun juga kartu
informasi, keping elektronik (CD-ROM) atau dari bank data elektronik
Jelas
situasi itu akan melipatgandakan kompetisi. Tiap media harus bekerja lebih
keras untuk memperoleh khalayak, dan sedapat mungkin menyesuaikan diri dengan
kemajuan teknologi. Komunikasi kini tidak hanya berlangsung orang-ke-orang atau
orang-ke-media, namun juga bisa mesin-ke-mesin. Komputer canggih bisa
berkomunikasi sendiri satu sama lain.
Film
dalam pengertiannya yang umum juga kian selektif memilih penonton. Produser
film bawah tanah atau film seni jelas takkan mengedarkan film itu ke daerah
pedesaaan. Radio merupakan media paling universal pun bersikap selektif.
Sebagian stasiun radio hanya menyiarkan musik rock atau country, kisah etnik
tertentu, dan sebagainya. Televisi masih menjadi media yang ebrsifat umum,
namun dimasa depan kemungkinan ini akan berubah. Tanda-tandanya sudah tampak
dengan munculnya televisi khusus film hiburan, khusus film dokumenter dan
sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Prajarto,
Nunung. 2004. Komunikasi, Negara, dan Masyarakat. Yogyakarta: Fisipol UGM.
Mufid,
Muhamad. 2007. Komunikasi & Regulasi Penyiaran. Jakarta: Kencana Prenada
Media.
Rivers,
William L. 2008. Media Massa dan Masyarakat Modern. Jakarta: Kencana Prenada
Media.
Wahyudi,
J.B. 1994. Dasar-Dasar Manajemen Penyiaran. Jakarta: Gramedia.
Sudibyo,
Agus. 2004. Ekonomi Politik Media Penyiaran. Jakarta: LKIS Pelangi Aksara.
Posting Komentar