-->

Kamis, 07 Mei 2015

Sistem Penyiaran Indonesia

Erik P. Simanullang
(1301113860)
Jurusan Ilmu Komunikasi, Fisip Universitas Riau

A. Status Stasiun Penyiaran
Dilihat dari tujuan pendirian stasiun penyiaran terdapat empat status stasiun penyiaran, yaitu:
1.      Stasiun penyiaran pemerintah,  Stasiun penyiaran milik masyarakat non-profit, Stasiun penyiaran swasta, dan Stasiun penyiaran milik gabungan pemerintah dan swasta
Stasiun penyiaran milik pemerintah memiliki tujuan yang bersifat idiil, stasiun penyiaran milik masyarakat non-profit memiliki tujuan bersifat idiil, stasiun penyiaran milik swasta memiliki tujuan bersifat materiil/profit, dan stasiun penyiaran milik gabungan antara pemerintah dan swasta memiliki tujuan antara idiil dan materiil berimbang.

Di dunia penyiaran saat ini ada kecenderungan perubahan stasiun penyiaran. Pemerintah tidak lagi akan secara dominan menguasai stasiun penyiaran. Namun, ada juga stasiun penyiaran yang masih dimiliki oleh pemerintah, tetapi pengelolaan operasional dilakukan dengan gaya swasta. Disini kepentingan pemerintah dan usaha mengembangkan swasta berjalan dengan seimbang. Dengan demikian, tujuan organisasi penyiaran dalam mengelola stasiun penyiaran lebih bersifat berimbang antara idiil dan materiil.
Stasiun penyiaran yang dikelola swasta, kepentingan pemerintah diwakili oleh tim pengawas siaran yang lazim disebut dengan komisi penyiaran. Komisi ini bertugas turut menyeleksi materi siaran sebelum disiarkan. Stasiun penyiaran milik masyarakat yang bertujuan non-profit lebih mengkhususkan diri pada pemberian pelayanan informasi yang bermanfaat bagi masyarakat. Misalnya, usaha Televisi Pendidikan.
Status stasiun penyiaran mempengaruhi bentuk organisasi. Bentuk organisasi akan mempengaruhi struktur dan tata kerja organisasi. Bahkan perbedaan status stasiun penyiaran juga mempengaruhi pola pikir dan tindak personel dalam pengelolaan stasiun penyiaran.
Pembentukan struktur organisasi dan tata kerja sebuah stasiun penyiaran, apakah itu milik pemerintah, swasta, dan masyarakat, serta milik masyarakat non-profit, tetap harus berlandaskan pada kebutuhan sebuah stasiun penyiaran yang tidak boleh ada birokrasi yang ketat.

B. Monopoli Kepemilikan Modal di Media
Dengan kata lain ketika berbicara tentang media massa dalam hal ini media penyiaran Televisi, maka kita akan dapat menarik garis besar kepemilikan yang berpusat pada segelintir orang. Dalam hal ini Trans7 dan Trans TV berada pada payung bisnis yang sama yakni Trans Corp yang dikuasai oleh Chairul Tanjung.
 Global TV, RCTI dan TPI bergabung dalam Group MNC dan bertindak selaku pemilik di Indonesia adalah Hary Tanoesoedibyo. TV One dan ANTV bernaung di bawah bendera Bakrie Group dengan Boss utama Abu Rizal Bakrie. SCTV yang sebahagian besar sahamnya dimiliki oleh Eddy Sariatmadja, dan yang terakhir Metro TV dengan pimpinannya yang termasyhur karena wajahnya sering ditampilkan oleh TV yang dimilikinya sendiri.
Singkat kata nama nama pemilik media yang disebutkan di atas tadi merupakan orang-orang yang membangun kerajaan bisnisnya dengan berupaya dekat dengan kekuasaan dan beberapa di antara ada yang duduk sebagai orang penting di pemerintahan serta ada pula yang merupakan Tokoh penting pada salah satu partai yang sekian lama berkuasa di republik ini (baca Golkar).
Tidak menutup kemungkinan mereka membangun Media untuk memuluskan kepentingannya dalam hal Perpolitikan dan penyebaran ideologi tertentu, melaui media. Hal ini dapat dilihat dari wajah media yang mereka bentuk, di mana saat ini banyak media yang mengawal kepentingan penguasa seperti yang baru baru ini terlihat bagaimana televisi ramai ramai menyiarkan Rapimnas Partai Golkar padahal di sisi lain masih banyak agenda-agenda penting lainnya yang harus diketahui oleh Publik seperti Penyelesaian Kasus lumpur Lapindo yang sampai saat ini masih jauh dari kata “beres”.
Padahal salah satu hak yang harus didapat masyarakat dari media adalah mereka mendapatkan Diversity Informasi. Tentu saja Konglomerasi media ini sangat tidak sehat dalam iklim berdemokrasi dan perpolitikan bangsa bangsa ini mengingat pengaruh media yang begitu kuat terhadap kognitif khalayak. Jika mengacu pada Jurgen habemas menyatakan media massa sesungguhnya adalah sebuah public Sphere yang semestinya dijaga dari berbagai pengaruh dan kepentingan-kepentingan.
Dalam artian media selayaknya menjadi “The Market Palces Of Ideas” tempat penawaran berbagai gagasan sebagaimana setiap konsep pasar, yang mana hanya ide terbaik sajalah yang pantas dijual dan ditawarkan.

C. Kapitalisme, Hegemoni Media, dan Budaya
Menurut Karl Max, kapitalisme adalah suatu sistem ekonomi yang memungkinkan beberapa individu menguasai sumber daya produksi vital, yang mereka gunakan untuk meraih keuntungan maksimal.
Media massa selalu dirasakan sebagai alat yang “powerfull” dan ada ideologi dominan di dalamnya. Hal ini yang disebut sebagai hegemoni media. Teori hegemoni ini merujuk pada kekuasaan dan praktis. Hegemoni merujuk pada upaya pelanggengan kekuasaan yang dilakukan oleh kelompok yang berkuasa. Di sini, institusi media memberikan sebuah fungsi hegemoni yang secara terus menerus memproduksi sebuah ideologi yang kohesif (ideology yang meresap), satu perangkat nilai-nilai dan norma norma yang memproduksi dan mengesahkan dominasi struktur sosial tertentu. Bahkan lebih lanjut menurut Gitlin mendefenisikan hegemoni sebagai “rekayasa sistematik” kepatuhan massa untuk memapankan kekuasaan kelompok yang berkuasa.
Stuart Hall berpendapat Media massa cenderung mengukuhkan ideologi dominan untuk menancapkan kuku kekuasaannya melalui Hegemoni. Melalui media massa pula juga menyediakan frame work bagi berkembangnya budaya massa. Melalui media massa pula kelompok dominan terus-menerus menggerogoti, melemahkan dan meniadakan potensi tanding dari pihak-pihak yang dikuasainya.
Sedangkan menurut MC. Luhan seorang pengkritik media ia mengatakan, Media massa bukan hanya sebagai media pengirim pesan tapi juga mempengaruhi nilai nilai budaya dan membuat streotype mengenai gender, Ras, dan etnik. Dan memiliki kontribusi terhadap pengalaman komunikasi dan bisa saja memonopoli dunia pemikiran seseorang.
Dari uraian kerangka teori di atas, maka tampak jelas lah apabila media massa akan senantiasa menjadi ajang Hegemoni bagi kelompok yang berkuasa, artinya masyarakat patuh pada pada kehendak penguasa dan mereka secara tidak sadar berpartisipasi dalam rangka kepatuhan tersebut.
Ketika kita berbicara tentang hegemoni Media massa maka kita tidak bisa melepas variabel Globalisasi dan kapitalisme sebagai salah satu jalan tol bagi pihak-pihak yang berkuasa untuk melakukan hegemoninya. Dalam cara pandang hegemonian, kebudayaan global akan bersifat tunggal karena watak kapitalisme yang monolitik. Seluruh ekspresi kebudayaan termasuk ekspresi simboliknya akan mengacu pada ekspresi dominan dalam nama pasar.
Tidak ada celah lagi untuk menjadi independen secara simbolik karena rekayasa elitis yang terlanjur disepakati oleh moralitas, kognisi, dan afeksi masyarakat bawah. Padahal ketiga faktor inilah yang terpenting dalam memproduksi simbol. Kebudayaan lokal yang tidak marketable akan terpinggirkan karena desakan kultur asing yang sangat profit oriented.
Dalam kaca mata Hegemoni Gramsci, penguasa adalah sejenis makhluk super jenius yang dengan segala tipu daya bisa mematikan kesadaran resistensi masyarakat. Dalam kondisi hegemoni, orang tidak akan punya kekuatan kritis lagi. Semuanya serba pesimis. Seperti halnya Soeharto pada pertengahan masa Orba sampai menjelang ajalnya tampil sebagai penguasa yang ditakuti.
Ia--seperti halnya Lee Kuan Yew--punya prinsip lebih baik ditakuti daripada dicintai. Siapa orang yang berani terang-terangan menentang Soeharto waktu itu. Dalam tataran politik praktis tentu tidak ada. Namun dalam ranah kultur keseharian, Soeharto tidak benar-benar absolut. Di tingkat bawah, orang sudah muak dan kemuakan itu muncul dalam berbagai bentuk resistensi. Resistensi yang paling sederhana adalah humor.
Subversi kecil-kecilan itu paling tidak akan memunculkan rasa bahwa mereka tidak terkuasai. Kita bisa melihat berapa banyaknya humor-humor politik yang hidup subur di masyarakat dan cepat menyebar. Semuanya bernada kritis pada penguasa. Kondisi ini mirip Rusia pada masa Kruschev. Kalau ekspresi politik resmi tidak bisa disalurkan, jalur kultural siap menampungnya.
Media massa adalah alat penguasa untuk menciptakan reproduksi ketaatan. Media massa seperti halnya lembaga sosial lain seperti sekolah dan rumah sakit dipandang sebagai sarana ampuh dalam mereproduksi dan merawat ketaatan publik. Media massa hanya bersifat satu arah melayani kepentingan ekonomi. Bahkan istilah media mungkin perlu digeser menjadi mediasi karena di sanalah segala macam simbol dari berbagai latar identitas budaya bisa saling bertemu.

D. Penyiaran di Era Orde Baru
Situasi yang dihadapi media penyiaran selama rezim Orde Baru pada dasarnya dalam melayani tarik-menarik antara negara dan masyarakat, dengan dominasi negara yang semakin mengeras dalam seluruh dimensi kehidupan.
Lebih jauh, dalam berbagai aspek kehidupan politik, ekonomi dan kultural, negara mencampuri dan mendominasi institusi sosial yang seharusnya digerakkan oleh budaya masyarakat. Institusi politik masyarakat (partai politik) kehilangan fungsi dalam konteks kehidupan warga. Institusi ekonomi swasta “diobok-obok” agar dapat menjadi lahan bagi kolusi, korupsi, dan nepotisme dari pejabat institusi negara. Institusi budaya semacam organisasi keagamaan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dalam penentuan pimpinannya, diintervensi oleh pejabat militter aktif maupun pensiunan. Struktur negara yang bersifat monolitik dan masif ini membawa implikasi antara lain, kedalam menyebabkan institusi negara yang tidak berdasarkan akuntabilitas, dan keluar menyebabkan lumpuhnya dinamika institusi masyarakat.
Era Orde Baru merupakan laboratorium yang sangat menarik untuk mengkaji keberadaan media penyiaran ditengah masyarakat dan negara. Biasanya para pengkaji melihat aspek-aspek politik dari hubungan negara dan media jurnalisme. Akan tetapi dengan cara lain, dari sisi kultural dapat diperjelas keberadaaan media massa, yaitu dengan melihat kecenderungan negara dalam mengendalikan media massa dan warga masyarakat.
Selain adanya tindakan-tindakan yang berlangsung melalui struktur negara (resmi dan gelap), penguasaan alam pikiran warga masyarakat dilakukan dengan mengendalikan media massa. Media massa dijadikan oleh penguasa negara sebagai sarana pengendalian warga masyarakat. Begitulah, pengendalian media massa oleh penguasa negara bukan semata-mata untuk mengawasi media tersebut, tetapi lebih jauh adalah untuk menguasasi alam pikiran warga masyarakat, untuk kemudian dalam pengendalian alam pikiran ini struktur negara yang bersifat monopolistis dapat berjalan.
Dengan kata lain, baik mekanisme melalui struktur gelap, maupun pengendalian media massa, dimaksudkan pada ujungnya adalah untuk mengendalikan warga masyarakat. Apa sebenarnya yang diharapkan dari terkuasainya alam pikiran warga masyarakat? Pada tahap awal mungkin dengan alasan pragmatisme pembangunan, yaitu perlu adanya keseragaman pemikiran, sehingga akan mengefisiensikan langkah-langkah dalam mobilisasi pembangunan. Pembangunan disini dimaksudkan untuk mengejar ketertinggalan yang dialami dalam kondisi ekonoi akibat masa lalu.
Untuk itu digunakan metode politik, melalui rekaya berbagai komponen masyarakat. Percepatan pembangunan yang dijalankan berbeda dengan konsep yang diterapkan dalam dunia komunikasi, yang dikenal dengan difusi inovasi. Di Indonesia dimaksudkan untuk pemulihan kondisi ekonomi setelah porak-poranda akibat orientasi politik Orde Lama.
Di Indonesia, hegemonisasi media oleh rezim Orde Baru dan Kapitalis kroninya dilakukan melalui berbagai kontrol. Hidayat (2002:6) mengidentifikasi paling tidak terdapat lima kontrol yang dilakukan;
1.      Kontrol preventif dan korektif tehadap kepemilikan institusi media, antara lain melalui pemberian SIT (yang kemudian diganti dengan ketentuan SIUPP) secara selektif berdasarkan kriteria politik tertentu.
2.      Kontrol terhadap individu dan kelompok pelaku profesional (wartawan) melalui mekanisme seleksi dan regulasi (seperti keharusan menjadi anggota PWI sebagai wadah tunggal, kewajiban untuk mengikuti P4 bagi pemimpin redaksi), dan kontrol berupa penunjukan individu-individu untuk menduduki jabatan tertentu dalam media milik pemerintah.
3.      Kontrol terhadap produk teks pemberitaan (baik isi maupun isu pemberitaan) melalui berbagai mekanisme.
4.      Kontrol terhadap sumber daya, antara lain berupa monopoli kertas oleh penguasa.
5.      Kontrol terhadap akses ke pers, berupa pencekalan tokoh-tokoh oposan tertentu untuk tidak ditampilkan dalam pemberitaan pers.
Media massa hanyalah “korban” karena berada dalam ruang publik yang tidak menghormati kebenaran dari kenyataan sosial. Sementara kebenaran hanya boleh datang dari kekuasaan negara. Sumber kebenaran adalah dari ideologi negara. Pada lingkup informasi, ideologi negara mewujud melalui jargon-jargon negara yang biasa dinyatakan oleh penguasa negara. Dalam pengertian yang umum, jargon adalah istilah yang mengandung makna teknis yang digunakan oleh sekelompok orang. Jargon negara menampung gagasan-gagasan yang berasal dari struktur negara.

E. Keluar dari Hegemoni
Dalam konteks media penyiaran, akumulasi hegemoni tersebut tercermin melalui Undang-Undang Penyiaran No. 24 Tahun 1997. Atas nama stabilitas nasional sebagai prasyarat mutlak terwujudnya pembangunan nasional, Orde Baru dan kroni kapitalis disekitarnya sedemikian rupa menempatkan media penyiaran sebagai aparatus akumulasi kekuasaan dan keuntungan, bagi kelanggengan rezim. Pasal 7 UU No. 24 Tahun 1997 misalnya, secara eksplisit menyatakan bahwa, “Penyiaran dikuasai oleh negara yang pembinaan dan pengendaliannya dilakukan oleh pemerintah”.
Dalam konteks regulasi penyiaran, tumbangnya rezim Orde Baru ternyata tidak membuat demokratisasi penyiaran menjadi niscaya. Terdapat kepentingan yang pada banyak titik saling menegasikan antara kekuatan negara (Pemerintah dan DPR), pasar (kapitalis), dan publik. Keseluruhan tarik-menarik kepentingan masing-masing pihak tersebut menjadi semakin kuat terutama bila dikaitkan dengan momentum angin reformasi dan gelombang liberalisasi media yang turut mendesak kuat agar regulasi penyiaran warisan Orde Baru (UU Penyiaran 24/1997) direvisi.
Masing-masing berupaya agar regulasi baru tersebut dapat secara ekonomis dan politis, menguntungkan kelompoknya. Apa yang tertuang UU Penyiaran 32/2002, sebagai pengganti UU Penyiaran 24/1997, sedikit banyak merupakan “kompromi” kepentingan antara para pihak yang berkepentingan.
Paling tidak, terdapat tiga hal mengapa demokratisasi pengelolaan penyiaran menjadi sulit,
1.      Walaupun secara formal rezim Orde Baru telah lewat, namun kekuatan lingkar cendana dalam dunia penyiaran masih berakar kuat. Sebagian modal televisi swasta misalnya, masih tekait erat dengan kalau tidak dikuasi oleh – keluarga cendana atau orang-orang yang dekat dengan cendana.
Persekongkolan saling menguntungkan antara kroni kapitalis lokal dan kapityalis transnasional akan berimplikasi pada keberlakuan logika akumulasi modal yang akan menentukan hal-hal apa saja yang semestinya dikesampingkan.
2.      Pemerintah pada titik tertentu belum siap untuk kehilangan sama sekali kekuasaan untuk mengontrol media. Media bagaimanapun juga merupakan sarana efektif bagi pembentukan opini sekaligus perangkat sosialisasi kebijakan.
3.      Kedua faktor tersebut lalu secaara dialektis dan sistematis mempersempit ruang gerak kelompok-kelompok civil society (seperti insan media, akademisi, dan publik) yang menginginkan keterbatasan media dari negara (penguasa) dan kediktatoran pasar.
Komersialisasi media, dengan demikian, tidak saja akan membodohi publik, tetapi juga menjauhkan media dari peran dasarnya sebagai public sphere, suatu ruang atau kawasan yang relatif terlindungi dari intervensi negara ataupun penetrasi.

F. Politik dan Kepemilikan Industri Penyiaran
Ada korelasi positif antara partai politik dan kepemilikan media. Kuatnya pengaruh pemilik media massa dalam membangun realitas politik ini telah memunculkan wacana pelarangan pengurus partai politik memiliki media masa, terutama industri penyiaran.
Sejak merebaknya kasus korupsi akhir-akhir ini yang menjerat banyak politisi dari beberapa partai besar gencar di beritakan di berbagai media massa, membuat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik kian menurun. Namun kasus korupsi ini tidak berpengaruh secara signifikan bagi partai politik yang memiliki industri penyiaran seperti Partai Golkar. Meskipun elit partai ini ditangkap KPK karena kasus korupsi dan ketua partainya tersangkut kasus Lumpur Lapindo, survei menunjukan elektabilitasnya tetap tinggi. Inilah yang membuktikan ada korelasi positif antara partai politik dan kepemilikan media.
Kuatnya pengaruh pemilik media massa dalam membangun realitas politik ini telah memunculkan wacana pelarangan pengurus partai politik memiliki media masa, terutama industri penyiaran. Industri penyiaran memiliki karakteristik yang berbeda dengan media cetak yang menyebabkan wacana pelarangan politisi menjadi pemilik media penyiaran menjadi relevan.
Media penyiaran mempunyai kemampuan yang lebih kuat dengan menggunakan audio visual untuk melakukan propaganda dan mengkonstruksi realitas sosial masyarakat serta pembentukan opini publik sesuai dengan ideologi media yang ditentukan oleh pemilik modal. Mereka dapat melakukan agenda setting, sehingga apa yang penting bagi media menjadi penting bagi masyarakat. Akibatnya, isi siaran menjadi tidak berimbang dan cenderung memihak kepada partai politik tertentu.
Dalam perspektif komunikasi politik, sebenarnya kita dapat mengetahui bahayanya media penyiaran dikuasai oleh para politisi diantaranya dengan  analisis framing. Analisis ini digunakan untuk mengetahui cara-cara atau ideologi dibalik media dalam mengkonstruksi realitas dalam pemberitaan untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektifnya. Dari fakta yang ada mereka menentukan bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak dibawa ke mana berita tersebut (Nugroho,1999). Karenanya, berita menjadi manipulatif dan bertujuan untuk menguntungkan si pemilik modal yang juga pengurus partai politik.

G. Media Siaran Dewasa Ini
Radio kian terdesak oleh televisi, namun masih memiliki banyak penggemar. Kecenderungannya adalah jangkauan siaran radio kian menyempit sehingga yang paling mampu bertahan adalah radio-radio yang hanya melayani satu wilayah kecil saja. Tantangannya tidak kalah dari yang dihadapi oleh radio dan majalah, namun radio terbantu oleh penemuan transistor yang membuatnya jauh lebih ringkas.
Jaringan radio (menyiarkan hal yang sama di banyak tempat sekaligus) yang begitu populer diera 1930-an dan 1940-an, kini telah punah. Lebih dari itu banyak radio (sekitar 5000 dari semua radio yang ada) membidik sebagian khalayak saja, bukan seluruh khalayak. Bahkan banyak pula yang melakukan spesialisasi seperti majalah. Dengan cara seperti ini radio bisa meraih keuntungan. Namun di kota-kota besar yang persaingannya begitu ketat, semua radio harus bekerja keras agar dapat bertahan.
Televisi kini merupakan media dominan komunikasi massa di seluruh dunia, dan sampai sekarang masih terus berkembang. Peminat pengiklan televisi sangat besar, namun sayang biayanya relatif mahal. Jika biaya iklan di televisi bisa diturunkan, maka kemungkinan besar belanja iklannya akan tumbuh lebih cepat. Televisi sesungguhnya juga bisnis rentan karena bisa berubah-ubah tergantung pada kemajuan teknologi. Munculnya televisi prabayar dan televisi kabel misalnya.

H. Kritik Terhadap Media Siaran
Pada era 1930-an dan 1940-an, kritik terhadap radio tertuju pada praktik pemrograman atau penyusunan siaran bukan oleh penyiarnya, namun oleh pihak lain, khususnya pengiklan. Pengelola radio memang dituntut untuk meraih penghasilan dari iklan, namun terkadang bukan sekadar waktu siaran yang dijual namun juga program-program siaran tertentu –dengan durasi sekian menit hingga satu jam penuh. Sebagaian pengiklan bahkan membuat program siaran sendiri. Kondisi ini tidak dijumpai dimajalah, mereka menyewakan kolom atau ruang dimajalahnya, namun mereka tidak pernah membiarkan pengiklan membuat sendiri isinya. Kritik serupa tidak sering dialamatkan kepada televisi yang mulai  muncul pada 1940-an, karena pengelola televisi juga membuat sendiri semua acaranya. Pengiklan hanya boleh menyisipkan iklannya disela-sela acara-acara tersebut.
Keluhan kedua terarah pada terlalu penuhnya gelombang siaran dengan aneka iklan. Begitu banyak radio dengan gelombang siarannya yang terpisah, namun semuanya penuh dengan iklan sehingga pendengar radio acapkali kesulitan menikmati acara kesukaannya tanpa gangguan iklan. Kritik ini mengingatkan para pengelola radio bahwa gelombang siaran adalah milik publik, dan seharusnya hal itu dimanfaatkan tanpa mengabaikan kepentingan publik.
Hiburan yang ditanyangkan pun tidak selamanya bermutu. Banyak televisi yang bahkan memilih acara hiburan yang penuh dengan kekerasan demi menarik khalayak. Penonton atau pendengar tidak memiliki pilihan acara yang berarti sekalipun di kota mereka terdapat lebih dari satu stasiun radio atau televisi. Jika film koboi atau komedi di salah satu stasiun sukses, maka stasiun-stasiun lain akan segera mengikutinya. Akibatnya, pemirsa atau pendengar tidak memiliki pilihan berarti karena yang tersedia hanya dua atau lebih film koboi atau film komedi – yang satu sama lain mirip- disaat yang sama. Stasiun-stasiun radio dan televisi lokal juga dikecam karena mengekor stasiun besar. Mereka acapkali gagal mengembangkan program siaran sendiri atau mengembangkan bakat-bakat lokal.

I. Kemajuan Teknologi Penyiaran
Media elektronik –film, radio, dan televisi- memiliki sejarah yang sangat berbeda dari media cetak. Sebagai produk revolusi industri dan teknologi, media elektronik muncul ketika alam demokrasi di AS sudah berkembang secara penuh dan urbanisasi sudah berlangsung lama, lengkap dengan berbagai persoalan yang dibawanya. Karena itu media elektronik sejak awal sudah bersifat demokratis, dan sejak awal pula khalayaknya adalah masyarakat luas secara keseluruhan, bukan kalangan tertentu saja.
Dahulu tidak seperti media cetak, media eletronik menuntut khalayaknya memberikan perhatian secara penuh karena apa yang disiarkannya tidak di ulang. Kita bisa membaca buku Plato sekarang, lalu meneruskannya sepuluh tahun kemudian. Kita tidak bisa menikmati siaran radio atau televisi seperti itu. Namun, teknologi audio dan video kemudian mengubahnya, karena kita bisa merekam acara tertentu untuk kita nikmati saaat kapan saja diluar saat acara itu disiarkan.
Teknologi, sifat dasar media elektronik, dan kebutuhan akan dukungan ekonomi yang besar mengharuskan film, radio, televisi memiliki khalayak luas atau massal. Tantangan dihadapi oleh media siaran yang sejak awal harus menjangkau khalayak yang seluas-luasnya. Setiap acara harus dibuat menarik demi memikat pendengar atau pemirsa.

J. Penyiaran dan Masa Depan
Perubahan alat-alat komunikasi berlangsung cepat. Belum usai orang mengagumi televisi, sudah muncul video yang bisa memutar film kapan saja. Pita rekaman segera digantikan dengan program komputer yang mempercepat proses pengolahan naskah. Foto atau film tiga dimensi sudah berkembang pesat sehingga memperluas cakupan manfaat dan potensi penggunaan perangkat audio-visual.
Tidak ada yang tahu benda apa saja dalam laboratorium yang segera berpindah ke pabrik, lalu kepasar. Meskipun dibatasi oleh peraturan pemerintah, perkembangan teknologi siaran juga sudah berlangsung cepat, sehingga FCC sendiri harus bekerja ekstra keras untuk menyesuaikan diri, mulai dari penggunaan gelombang UHF, CATV, hingga penggunaan satelit yang semuanya membuat aktivitas komunikasi kian cepat dan mudah. Sistem canggih ini juga mudah diterapkan dimana saja sehingga seluruh dunia telah terjaring dalam sistem komunikasi modern. Pasar sendiri tampaknya terus haus akan produk baru.
Dulu televisi cukup lama ada di laboratorium karena ada keraguan pasar dapat menerimanya. Ternyata begitu diluncurkan,  pasar menyambutnya. Televisi berwarna tidak akan segera hadir jika para pengiklan tidak menginginkannya lalu turut membiayainya.
Ada banyak faktor yang membuat kemajuan teknologi kian cepat. Semua teknologi baru sekarang ini adalah teknologi elektronik. Teknologi ini begitu cepat berganti antara lain karena konsumen mau segera menyingkirkan produk lama untuk memilih produk baru yang lebih menarik. Sebagai contoh, begitu televisi berwarna muncul, konsumen mau membelinya dan menyingkirkan televisi hitam putihnya yang dulu harus dibelinya dengan harga mahal. Dekungan pasar menjadikan kemajuan teknologi elektronik dan berbagai produknya kian pesat.
Tidak lama lagi mungkin ada teknologi holograf yang memungkinkan boss Playboy, Hugh Heffner, memutar video tiga dimensi rekaman “gadis-gadis kelinci”-nya. Mungkin tak lama lagi seluruh televisi dan komputer rumah tersambung dengan komputer induk yang memungkinkan seorang ibu rumahh tangga berbelanja apa saja tanpa meninggalkan rumah.
Semua kemajuan teknologi yang telah dan akan terjadi memberi pengaruh besar terhadap sistem komunikasi massa, termasuk pola-pola komunikasinya. Sumber hiburan dan informasi bagi masyarakat akan jauh lebih banyak, menarik dan beragam. Untuk mengetahui sesuatu, kita tidak hanya membacanya dari buku, namun juga kartu informasi, keping elektronik (CD-ROM) atau dari bank data elektronik
Jelas situasi itu akan melipatgandakan kompetisi. Tiap media harus bekerja lebih keras untuk memperoleh khalayak, dan sedapat mungkin menyesuaikan diri dengan kemajuan teknologi. Komunikasi kini tidak hanya berlangsung orang-ke-orang atau orang-ke-media, namun juga bisa mesin-ke-mesin. Komputer canggih bisa berkomunikasi sendiri satu sama lain.
Film dalam pengertiannya yang umum juga kian selektif memilih penonton. Produser film bawah tanah atau film seni jelas takkan mengedarkan film itu ke daerah pedesaaan. Radio merupakan media paling universal pun bersikap selektif. Sebagian stasiun radio hanya menyiarkan musik rock atau country, kisah etnik tertentu, dan sebagainya. Televisi masih menjadi media yang ebrsifat umum, namun dimasa depan kemungkinan ini akan berubah. Tanda-tandanya sudah tampak dengan munculnya televisi khusus film hiburan, khusus film dokumenter dan sebagainya.


DAFTAR PUSTAKA

Prajarto, Nunung. 2004. Komunikasi, Negara, dan Masyarakat. Yogyakarta: Fisipol UGM.
Mufid, Muhamad. 2007. Komunikasi & Regulasi Penyiaran. Jakarta: Kencana Prenada Media.
Rivers, William L. 2008. Media Massa dan Masyarakat Modern. Jakarta: Kencana Prenada Media.
Wahyudi, J.B. 1994. Dasar-Dasar Manajemen Penyiaran. Jakarta: Gramedia.

Sudibyo, Agus. 2004. Ekonomi Politik Media Penyiaran. Jakarta: LKIS Pelangi Aksara.

Posting Komentar