-->

Minggu, 26 Oktober 2014

Teori Struktur Fungsional - Talcott Parsons


BAB I
PENDAHULUAN

1.1   LATAR BELAKANG

Talcott Parsons adalah seorang sosiolog kontemporer dari Amerika yang menggunakan pendekatan fungsional dalam melihat masyarakat, baik yang menyangkut fungsi dan prosesnya. Pendekatannya selain diwarnai oleh adanya keteraturan masyarakat yang ada di Amerika juga dipengaruhi oleh pemikiran Auguste Comte, Emile Durkheim, Vilfredo Pareto dan Max Weber. Hal tersebut di ataslah yang menyebabkan Teori Fungsionalisme Talcott Parsons bersifat kompleks.


Pengertian struktur sosial menurut kajian sosiologi :
  • Struktur adalah pola hubungan antar manusia dan antar kelompok manusia (Menurut Coleman).
  • Struktur sosial adalah pola hubungan-hubungan, kedudukan-kedudukan, dan jumlah orang yang memberikan keanggotaan bagi organisasi manusia dalam kelompok kecil dan keseluruhan manusia (Calhoun, 1997).
  • Struktur sosial sebagai pola perilaku berulang-ulang yang menciptakan hubungan antar individu dan antar kelompok dalam masyarakat (William Kornblum,1988).
Secara sederhana, fungsionalisme struktural adalah sebuah teori yang pemahamannya tentang masyarakat didasarkan pada model sistem organik dalam ilmu biologi. Artinya, fungsionalisme melihat masyarakat sebagai sebuah sistem dari beberapa bagian yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Satu bagian tidak bisa dipahami terpisah dari keseluruhan.
Hubungan terjadi ketika manusia memasuki pola interaksi yang relatif stabil dan berkesinambungan dan/atau saling ketergantungan yang menguntungkan. Maka pola struktur sosial dapat dipengaruhi oleh jumlah orang yang berbeda-beda, kedudukan seseorang dan peran yang dimiliki individu dalam jaringan hubungan sosial. Perlu dipahami bahwa struktur sosial merupakan lingkungan sosial bersama yang tidak dapat diubah oleh orang perorang. Sebab ukuran, pembagian kegiatan, penggunaan bahasa, dan pembagian kesejahteraan didalam organisasi merupakan pembentuk lingkungan sosial yang bersifat struktural dan membatasi perilaku individu dalam organisasi.
Teori Fungsionalisme Struktural Parsons mengungkapkan suatu keyakinan yang optimis terhadap perubahan dan kelangsungan suatu sistem. Akan tetapi optimisme Parson itu dipengaruhi oleh keberhasilan Amerika dalam Perang Dunia II dan kembalinya masa kejayaan setelah depresi yang parah itu. Bagi mereka yang hidup dalam sistem yang kelihatannya mencemaskan dan kemudian diikuti oleh pergantian dan perkembangan lebih lanjut maka optimisme teori Parsons dianggap benar. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Gouldner (1970: 142): ”untuk melihat masyarakat sebagai sebuah firma, yang dengan jelas memiliki batas-batas srukturalnya, seperti yang dilakukan oleh teori baru Parsons, adalah tidak bertentangan dengan pengalaman kolektif, dengan realitas personal kehidupan sehari-hari yang sama-sama kita miliki”.
Talcott Parsons melahirkan teori fungsional tentang perubahan. Dalam teorinya, Parsons menganalogikan perubahan sosial pada masyarakat seperti halnya pertumbuhan pada mahkluk hidup (Dwi Susilo, Rahmat K, 2008:107). Komponen utama pemikiran Parsons adalah adanya proses diferensiasi. Parsons berpendapat bahwa setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan strukturnya maupun berdasarkan makna fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih luas. Ketika masyarakat berubah, umumnya masyarakat tersebut akan tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi permasalahan hidupnya. Dapat dikatakan Parsons termasuk dalam golongan yang memandang optimis sebuah proses perubahan.



BAB II
PEMBAHASAN

2.2  FUNGSI IMPERATIF SISTEM TINDAKAN

Dalam teori struktural fungsional Parsons ini, terdapat empat fungsi untuk semua sistem tindakan. Suatu fungsi adalah kumpulan hal yang ditujukan pada pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. Dengan demikian, dalam perspektif fungsionalisme ada beberapa persyaratan atau kebutuhan fungsional yang harus dipenuhi agar sebuah sistem sosial bisa bertahan. Parsons kemudian mengembangkan apa yang dikenal sebagai imperatif-imperatif fungsional agar sebuah sistem bisa bertahan, yaitu:
1.        Adaptasi (Adaptation)
Sebuah sistem ibarat makhluk hidup, artinya agar dapat terus berlangsung hidup, sistem harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada, harus mampu bertahan ketika situasi eksternal sedang tidak mendukung.
Contohnya, suatu sistem akan menyaring budaya barat yang masuk ke dalam suatu masyarakat melalui aturan – aturan yang ada dalam masyarakat itu sendiri, antara lain aturan tentang kesopanan berpakaian , maupun kesopanan berbicara terhadap orang yang lebih tua . Aturan-aturan itu akan mempengaruhi tindakan suatu masyarakat.

2.        Pencapaian Tujuan (Goal Attaintment)
Sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan-tujuan utamanya. Artinya,  sistem diharuskan untuk mengerucutkan pemikiran individu agar dapat membentuk kepribadian individu dalam mencapai tujuan dari sistem itu sendiri . Contohnya, orang yang ada dalam sistem pendidikan akan mengarahkan dirinya untuk suatu tujuan, antara lain, guru akan membimbing muridnya menuju kelulusan dengan nilai memuaskan, dan seorang murid akan mengarahkan dirinya untuk menuju kelulusan dengan kepatuhan maupun kerajinan dalam dirinya.

3.        Integrasi (Integration)
Sistem harus mengatur hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya. Ia pun harus mengatur hubugan antar ketiga imperative fungsional, yakni adaptation, goal, dan latensi.

4.        Pemeliharaan Pola (Latensi)
Sistem harus melengkapi, memelihara, dan memperbarui motivasi individu dan pola-pola budaya yang menciptakan dan mempertahankan motivasi tersebut.

Keempat fungsi tersebut dikenal dengan sebutan AGIL yaitu Adaptasi (A [adaptation]), pencapaian tujuan (G [goal attainment]), integrasi (I [integration]), dan latensi atau pemeliharaan pola (L [latency]). Lalu bagaimanakah Parson menggunakan empat skema diatas, mari kita pelajari bersama.
Pertama adaptasi dilaksanakan oleh organisme perilaku dengan cara melaksanakan fungsi adaptasi dengan cara menyesuaikan diri dan mengubah lingkungan eksternal. Sedangkan fungsi pencapaian tujuan atau Goal attainment difungsikan oleh sistem kepribadian dengan menetapkan tujuan sistem dan memolbilisai sumber daya untuk mencapainya.
Fungsi integrasi di lakukan oleh sistem sosial, dan laten difungsikan sistem cultural. Bagaimana sistem cultural bekerja? Jawabannya adalah dengan menyediakan aktor seperangkat norma dan nilai yang memotivasi aktor untuk bertindak. Tingkat integrasi terjadi dengan dua cara, pertama : masing-masing tingkat yang paling bawah menyediakan kebutuhan kondisi maupun kekuatan yang dibutuhkan untuk tingkat atas. Sedangkan tingkat yang diatasnya berfungsi mengawasi dan mengendalikan tingkat yang ada dibawahnya.





2.2   KOMPONEN DALAM PENGGUNAAN 4 IMPERATIF FUNGSIONAL

A.      Sistem Tindakan
Menurut Parsons, terdapat enam lingkungan sistem tindakan yang mendorong manusia untuk bertindak . Yakni adanya realitas hakiki, sistem kultural, sistem sosial, sistem kepribadian, organisme behavorial, dan adanya lingkungan fisik-organik. Dalam lingkungan sistem tindakan, Parsons mengintegrasikan sistem dalam dua aspek.
Aspek pertama, setiap level yang lebih rendah menyediakan syarat, energi yang dibutuhkan dalam level yang lebih tinggi. Kedua, level yang lebih tinggi mengontrol level-level yang hirarkinya berada di bawah mereka. Dalam lingkungan sistem tindakan, level terendah adalah lingkungan fisik dan organik yang terdiri dari unsur-unsur tubuh manusia, anatomi, dan fisiologi yang sifatnya non simbolis sedangkan level tertinggi adalah realitas hakiki.
Contoh dari sistem tindakan Parsons adalah Pancasila yang ada di negara Indonesia akan mendorong segenap warga untuk melaksanakan semua yang ada di dalamnya, antara lain menghargai keberagaman agama yang ada di Indonesia, menjunjung  hak-hak asasi manusia dengan keadilan,  menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa, masyarakat akan mengadakan musyawarah apabila ada sesuatu yang harus disetujui agar mencapai mufakat, dan selalu menghargai semua yang ada dalam kehidupan sosial bangsa Indonesia agar tercipta masyarakat yang adil dan makmur.

B.       Sistem Sosial
Konsepsi Parsons tentang sistem sosial dimulai dari level mikro, yaitu interaksi interaksi antara ego dan alter ego, yang diartikan sebagai bentuk dasar dari sistem sosial. Menurut Parsons, sistem sosial adalah sistem yang terdiri dari beragam aktor individual yang berinteraksi satu sama lain dalam situasi yang setidaknya memiliki aspek fisik atau lingkungan, aktor yang cenderung termotivasi ke arah optimisasi kepuasan dan yang hubungannya dengan situasi mereka, termasuk hubungan satu sama lain, didefinisikan dan diperantarai dalam bentuk sistem simbol yang terstruktur secara kultral dan dimiliki bersama (Teori Sosiologi, George Ritzer, Douglas J. Goodman : 259).
Walaupun sistem sosial identik dengan sistem interaksi, namun Parsons menganggap interaksi bukan merupakan hal terpenting dalam sistem sosial, namun ia menempatkan status peran sebagai unit yang mendasari sistem. Status peran merupakan komponen struktural sistem sosial. Status merujuk pada posisi struktural dalam sistem sosial, dan peran adalah apa yang dilakukan aktor dalam suatu posisi.
Aktor tidak dipandang menurut pemikiran dan tindakan, karena dia tidak lain hanyalah sekumpulan status dan peran. Contohnya, sosialisasi dalam masyarakat membutuhkan seseorang yang mempunyai posisi struktural yang lebih tinggi daripada masyarakat yang diberikan sosialisasi. Seorang pengamen tidak mungkin mengadakan sosialisasi bagaimana melakukan bersih desa yang seharusnya dilakukan oleh seorang kepala desa di situ.
Dalam analisis sistem sosialnya, Parsons terutama tertarik pada komponen-komponen strukturalnya. Selain perhatian terhadap status peran, Parsons tertarik pada komponen sistem sosial skala besar seperti kolektivitas, norma, dan nilai (Teori Sosiologi, George Ritzer , Douglas J. Goodman : 260).
Dalam analisis sistem sosialnya, Parsons menguraikan sejumlah prasyarat fungsional bagi sistem sosial, yaitu:
·                    Pertama, sistem sosial harus terstruktur sedemikian rupa agar dapat beroperasi dengan sistem lain.
·                    Kedua, sistem sosial harus didukung oleh sistem lain agar dapat bertahan.
·                    Ketiga, sistem harus secara signifikan memenuhi kebutuhan proporsi kebutuhan aktor-aktornya.
·                    Keempat, sistem harus menimbulkan partisipasi yang memadai dari anggotanya.
·                    Kelima, sistem harus memiliki kontrol minimum terhadap perilaku yang berpotensi merusak.
·                    Keenam, konflik yang menimbulkan kerusakan tinggi harus dikontrol.


Ketika membahas sistem sosial, Parsons tidak sepenuhnya mengesampingkan masalah hubungan antar aktor dengan struktur sosial. Sebaliknya, ia menyebut integrasi pola-pola nilai dan kebutuhan disposisi dengan dinamika fundamental teorema sosiologi (Teori Sosiologi, George Ritzer, Douglas J. Goodman:260).
Karena perhatian utamanya pada sistem sosial, yang terpenting dalam integrasi ini adalah internalisasi dan sosialisasi. Dalam sosialisasi yang sukses, nilai, dan norma akan terinternalisasi atau dengan kata lain, mereka menjadi bagian dari nurani aktor, sehingga dalam mengejar kepentingan mereka, para aktor tengah menjalankan kepentingan sistem secara keseluruhan. Aktor adalah penerima pasif dalam proses sosialisasi. Anak-anak tidak hanya tahu cara bertindak, mereka juga mengetahui norma dan nilai, serta moral masyarakat.
Sosialisasi digambarkan sebagai proses penjagaan dimana kebutuhan disposisi mengikatkan anak-anak dalam sistem sosial. Untuk itu, akan diadakan sarana-sarana yang akan dimiliki anak-anak untuk mengembangkan kreativitas dan memuskan kebutuhannya, dan kebutuhan akan kepuasan akan mengikat anak-anak pada sistem yang diharuskan.
Menurut Parsons, alur pertahanan kedua dalam sistem adalah kontrol sosial. Suatu sistem akan berjalan baik apabila kontrol sosial hanya dijalankan sebagai pendamping, sebab sistem harus mampu menoleransi sejumlah variasi, maupun penyimpangan. Sosialisasi dan kontrol sosial adalah mekanisme utama yang memungkinkan sistem sosial mempertahankan ekuilibriumnya.  Jumlah individu yang sedikit dan berbagai bentuk penyimpangan dapat terakomodasi, namun bentuk-bentuk lain yang lebih ekstrim harus diakomodasi oleh mekanisme penyeimbang baru.
Intinya adalah Parsons ingin menekankan bahwa analisisnya mengacu tentang bagaimana sistem mengontrol aktor, bukan bagaimana aktor menciptakan dan memelihara sistem.
Menurut Parsons, sistem sosial yang paling spesifik adalah masyarakat yang dijabarkan sebagai sebuah kolektivitas yang relatif mandiri, dan anggotanya mampu memenuhi seluruh kebutuhan individual dan kolektif dan sepenuhnya hidup dalam kerangka kerja kolektif (Teori Sosiologi, George Ritzerdan, Douglas J. Goodman: 262).
Menurut Parsons, di dalam masyarakat ada empat subsistem saat menjalankan fungsi AGIL. Ekonomi adalah subsistem yang dapat digunakan masyarakat dalam beradaptasi dengan lingkungan melalui kerja, produksi, dan alokasi. Melalui kerja, ekonomi menyesuaikan lingkungan dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat , dan ia membantu masyarakat beradaptasi dengan realita yang ada di luar.
Subsistem kedua adalah politik yang digunakan masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuan mereka serta memobilisasi aktor dan sumber daya untuk mencapai tujuan tersebut.
Subsistem ketiga adalah sistem pengasuhan misalnya sekolah, maupun keluarga yang menangani pemeliharaan pola-pola yang ada dalam masyarakat agar tidak berubah dengan mengajarkan kebudayaan berupa nilai dan norma kepada aktor yang menginternalisasikannya kepada mereka. Akhirnya, komunitas masyarakat sebagai subsistem keempat akan mengatur berbagai komponen masyarakat .


C.      Sistem Kultural
Menurut Parsons, kebudayaan merupakan kekuatan utama yang mengikat sistem tindakan. Hal ini disebabkan karena di dalam kebudayaan terdapat norma dan nilai yang harus ditaati oleh individu untuk mencapai tujuan dari kebudayaan itu sendiri. Nilai dan norma itu akan diinternalisasikan oleh aktor ke dalam dirinya sebagai suatu proses dalam sistem kepribadian agar membentuk individu sesuai yang diinginkan dalam sistem kultural. Contohnya, nilai dan norma akan mendorong individu untuk bertutur kata lebih sopan kepada orang yang lebih tua maupun orang yang dituakan.
Parsons berpendapat bahwa sistem kultural sama dengan sistem tindakan yang lain. Jadi, kebudayaan adalah sistem simbol yang terpola dan tertata yang merupakan sarana orientasi aktor, aspek sistem kepribadian yang diinternalisasikan, dan pola-pola yang terinstitusionalkan dalam sistem sosial (Teori Sosiologi, George Ritzer , Douglas J. Goodman:263). Artinya sistem kultural dapat dikatakan sebagai salah satu pengendali sistem kepribadian.


D.      Sistem Kepribadian
Sistem kepribadian tidak hanya dikendalikan oleh sistem kultural, namun juga dikendalikan oleh sistem sosial. Ini tidak berarti tidak ada tempat independen atau bebas pada sistem kepribadian. Pandangan Parsons adalah kendati konteks utama struktur kepribadian berasal dari sistem sosial dan kebudayaan melalui sosialisasi. Kepribadian menjadi sistem independen karena hubungannya dengan organismenya sendiri dan melalui keunikan pengalaman hidupnya sendiri; Sistem Kepribadian Bukanlah Sekadar Epifenomena (Teori Sosiologi, George Ritzer, Douglas J. Goodman:263).
Kritik Parsons tentang kepribadian ialah, dia tidak membiarkan kepribadian sebagai sistem yang tidak independen atau tidak bisa berdiri sendiri dan hanya diatur oleh sistem kultural maupun sistem sosial. Kepribadian adalah sistem motivasi yang ada di dalam diri individu yang mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan disposisi. Kebutuhan ini berbeda bukanlah dorongan naluriah sejak lahir yang dimiliki individu, namun kebutuhan ini timbul karena individu berada dalam setting sosial.
Kebutuhan disposisi akan mendorong individu untuk menerima maupun menolak objek yang ada di lingkungan itu maupun untuk mencari dan menemukan objek yang baru. Dengan kata lain, kebutuhan inilah yang mendorong individu untuk terjebak maupun masuk dalam suatu sistem maupun terciptanya sistem.
Parsons membedakan kebutuhan disposisi menjadi tiga jenis, yakni hal yang mendorong aktor untuk mendapatkan cinta, persetujuan, keputusan yang disebabkan dari hubungan sosial mereka. Kedua adalah internalisasi nilai yang mendorong aktor untuk mengamati berbagai standar struktural, dan kemudian menjadi harapan suatu peran untuk memberi maupun mendapatkan respon yang tepat dari hubungan sosial. Seperti yang dapat kita lihat dalam contoh tadi, seorang yang lebih muda akan berbicara lebih sopan kepada orang yang lebih tua maupun yang dituakan.
Dalam hal ini, Parsons dipandang hanya memberi gambaran yang pasif mengenai individu karena dalam penyampaiannya mengenai individu, individu hanya digerakkan oleh kebutuhan disposisi dan kebudayaan yang diinternalisasi atau dengan kata lain, aktor hanya mendapat pengaruh  dan tidak mempengaruhi.

E.       Organisme Behavioral
            Parsons tidak membahas hal ini terlalu panjang, organisme behavioral dimasukkan karena merupakan sumber energi bagi seluruh sistem. Meski didasarkan pada bangunan genetis, organisasinya dipengaruhi oleh proses pengondisian dan pembelajaran yang terjadi dalam kehidupan individu. Organisme behavioral jelas merupakan sistem bekas dalam karya Parsons, namun paling tidak Parsons dipuji karena memasukkannya sebagai bagian dari sosiologinya, jika tidak ada alasan lain selain bahwa ia mengantisipasi adanya minat pada sosiologi tubuh di kalangan beberapa sosiolog.


2.3 PERUBAHAN DAN DINAMIKA TEORI PARSONIAN

Karya Parsons dengan konsepnya seperti empat sistem tindakan dan imperatif fungsional mengundang tuduhan bahwa ia menawarkan teori-teori struktural yang tidak dapat mengatasi perubahan sosial, padahal Parsons telah lama mempedulikan dirinya dengan perubahan sosial dengan sangat, namun ia berpendapat bahwa walaupun studi perubahan sangat penting, tapi itu harus didahului dengan studi struktural. Namun  pada tahun 1960-an, ia tidak dapat lagi melawan serangan ini dan melakukan perubahan besar dalam karyanya ke arah studi perubahan sosial, khususnya studi evolusi sosial.

A.      Teori Evolusi
Studi Parsons tentang perubahan sosial tidak bisa dilepaskan dari sosiologi dalam pembahasannya. Parsons mengembangkan sebuah paradigma yang disebutnya paradigma perubahan revolusioner. Komponen pertama dalam paradigma tersebut menurut Parsons adalah diferensiasi atau perbedaan. Dia berpendapat bahwa, beberapa subsistem yang terdapat dalam masyarakat berbeda struktur dan signifikasi fungsionalnya dengan masyarakat yang lebih luas.
Subsistem mengalami diferensiasi ketika masyarakat berevolusi, namun masyarakat baru bisa dikatakan berevolusi apabila subsistem yang baru lebih adaptif dari subsistem sebelumnya. Dengan penjelasan ini, Parsons bisa lebih jauh membicarakan ini melalui gagasan tentang upgrading adaptif, “Jika diferensiasi melahirkan sistem yang lebih seimbang dan maju, setiap substruktur yang baru berdiferensiasi  pasti akan meningkatkan kapasitas adaptif bagi dijalankannya fungsi primernya, dibandingkan dengan dijalankannya fungsi tersebut pada struktur sebelumnya yang lebih rumit”.
Kita dapat menyebut proses ini sebagai aspek upgrading adaptif dari siklus perubahan evolusioner. Tidak seperti teori Marxian yang menekankan perubahan pada kehancuran total kaum kapitalis, Parsons berbicara tentang perubahan positif dalam evolusi masyarakat, yakni masyarakat dapat mengatasi masalah-masalahnya. Namun dengan masyarakat yang dapat mengatasi masalah untuk berevolusi, masalah integrasi kemudian muncul dengan pengertian bahwa dengan adanya saat subsistem berkembang, maka masalah-masalah timbul pada bagaimana cara mengatur kerja unit-unit ini.
Untuk itu, keterampilan dan kemampuan yang lebih luas diperlukan untuk mengatasi masalah itu, langkahnya antara lain, kelompok-kelompok yang sebelumnya tidak berpartisipasi dalam subsistem sebelumnya, harus diberikan kesempatan untuk berkontribusi pada subsistem yang baru. Hal ini menimbulkan efek pada nilai dalam masyarakat yang pastinya mengalami perubahan total karena struktur dan fungsi sosial semakin terdiferensiasi . Namun, pada proses penjalanan subsistem baru pada segenap lapisan masyarakat mendapat kendala dari kelompok yang masih teguh pada nilai dalam subsistem mereka yang lama dan sempit.
Contohnya adalah apa yang terjadi pada Suku Anak Dalam yang belum bisa menerima segala modernisasi dan masih menggantungkan hidupnya pada alam dan masih mempercayai nilai-nilai tradisional dengan pemberian sesaji.
Dalam analisis tentang proses evolusi, Parsons membagi tahap evolusi menjadi tiga tahap, yakni evolusi primitif, pertengahan, dan modern. Dalam perubahan masyarakat primitif menuju pertengahan, yang berubah adalah perkembangan bahasa, terutama bahasa tertulis, sedangkan perubahan masyarakat pertengahan menuju modern, yang banyak berubah adalah tatanan norma atau yang biasa kita sebut hukum.


B.       Media Pertukaran yang Digeneralisasi
Dalam mengenalkan media pertukaran yang digeneralisasi dalam masyarakat, Parsons mengemukakan dan memusatkan pemikirannya pada media berupa uang. Menurut Parsons, uang adalah media pertukaran simbolis dan uang memiliki kekuatan untuk dibuat dan beredar dalam masyarakat yang lebih luas. Parsons berpendapat bahwa uang hanya sebagai simbol, bukan besarnya materi yang dapat menjadi fenomena.
Parsons berpendapat bahwa uang dibuat oleh pemimpin dan mengedarkannya dalam masyarakat luas. Dalam hal ini tentu saja uang hanya sebagai simbol kekuasaan yang dibuat oleh si penguasa sendiri dan peredaran dalam masyarakat mengandung pengertian bahwa masyarakat yang termasuk dalam peredaran uang menggunakan kekuasaan sang pemimpin dan semakin luas peredaran uang dalam masyarakat, maka akan semakin luas juga kekuasaan si penguasa.
Hal ini ditentang oleh Alexander yang berpendapat bahwa uang dapat menimbulkan wirausaha media, misalnya politisi yang tidak hanya sekedar menerima pertukaran itu, dengan begitu para politisi dapat mengetahui banyak tentang pertukaran sehingga dapat mengubah kauntitas uang sebagai media pertukaran dan dapat mengubah cara dan arah pertukaran.


2.4        TEORI AKSI (ACTION THEORY)

Teori Aksi atau Action Theory yang juga dikenal sebagai teori bertindak ini pada mulanya dikembangkan oleh Max Weber seorang ahli sosiologi dan ekonomi yang ternama. Max Weber berpendapat bahwa individu melakukan suatu tindakan berdasarkan atas pengalaman, persepsi, pemahaman dan penafsirannya atas suatu obyek stimulus atau situasi tertentu.
Tindakan individu ini merupakan tindakan sosial yang rasional, yaitu mencapai tujuan atau sasaran dengan sarana-sarana yang paling tepat. Teori Weber dikembangkan lebih lanjut oleh Talcott Parsons, yang mulai dengan mengkritik Weber, meyatakan bahwa aksi atau action itu bukanlah perilaku atau behavior. Aksi merupakan tanggapan atau respons mekanis terhadap suatu stimulus sedangkan perilaku adalah suatu proses mental yang aktif dan kreatif.
Menurut Parsons, yang utama bukanlah tindakan individual, melainkan norma-norma dan nilai-nilai sosial yang menuntun dan pengatur perilaku. Kondisi obyektif disatukan dengan komitmen kolektif terhadap suatu nilai akan mengembangkan suatu bentuk tindakan sosial tertentu. Parsons melihat bahwa tindakan individu atau kelompok dipengaruhi oleh 3 sistem, yaitu sistem sosial, sistem budaya dan sistem kepribadian masing-masing individu.
Kita dapat mengaitkan individu dengan sistem sosialnya melalui status dan perannya.  Dalam setiap sistem sosial individu menduduki suatu tempat atau status tertentu dan bertindak atau berperan sesuai dengan norma atau aturan yang dibuat oleh sistem tersebut dan perilaku individu ditentukan pula oleh tipe kepribadiannya.



DAFTAR PUSTAKA






1 Comments: