Komunikasi virtual adalah komunikasi yang dilakukan oleh para user, dimana proses penyampaian dan penerimaan pesan-pesan melalui cyberspace atau ruang maya yang bersifat interaktif. Realitas dari komunikasi publik virtual, dimana adanya ruang publik untuk berinteraksi, membangun stratifikasi sosial, membangun pranata sosial, membangun kekuasaan, membentuk basis ekonomi, bahkan membangun sistem kejahatan (cybercrime).
Komunikasi virtual tidak dapat lepas dari sebuah media internet yang menggunakannya sebagai alat komunikasi. Disini terlihat adanya peralihan gaya atau kebiasaan manusia dalam berkomunikasi menyampaikan informasi dengan sesamanya. Dikatakan begitu karena saat ini manusia tidak perlu lagi berkomunikasi pada waktu, tempat yang sama. Nampaknya melalui komunikasi virtual saat ini, hambatan – hambatan yang ada terdahulu seperti jarak, waktu, biaya, serta kesulitan lainnya dapat teratasi. Hal ini dikarenakan internet sebagai media komunikasi virtual tidak terbatas ruangnya sehingga masyarakat luas dapat menyampaikan informasi kemana saja, dan ke siapa saja. Dalam komunikasi virtual, memungkinkan seseorang berinteraksi tetapi sebenarnya mereka tidak berada secara wujud di tempat itu.
MELAKUKAN KOMUNIKASI MENGGUNAKAN INTERNET, DAPAT DIBEDAKAN MENJADI DUA JENIS KOMUNIKASI YAITU:
• Asynchronous communication (komunikasi melalui media internet dengan pengirim dan penyampai pesan dalam berinteraksi tidak berada pada kedudukan tempat dan waktu yang sama, namun pesan tetap sampai pada tujuan / sasaran (penerima)
• Synchronous communication (komunikasi melalui internet dengan interaksi yang bersamaan waktunya)
Keberadaan internet sebagai media komunikasi membawa kemajuan yang berarti dalam era komunikasi dan informasi saat ini. Menurut jenisnya komunikasi virtual dapat dibedakan menjadi tiga model yaitu email, chatting, serta web.
1. E – mail
Kata e-mail terdiri dari electronic dan mail berarti surat elektronik. Sehingga e-mail dapat dikatakan mengirim surat melalui media elektronik internet. Dalam hal ini e-mail termasuk jenis komunikasi asynchronous communication, artinya pengirim pesan dan penerima pesan tidak berada pada tempat dan waktu yang bersamaan. E-mail sendiri terdiri atas dua jenis e-mail yang didasarkan pada keperluan atau kepentingan interaksi yang diinginkan, yaitu e-mail person to person (poin to point) merupakan e-mail dari satu orang ke satu orang lainnya, serta e-mail dalam bentuk kelompok (point to multi point) merupakan e-mail dari satu orang ke sekelompok orang dan sebaliknya. Jenis yang kedua ini disebut juga sebagai e-mail groups (e-groups ) atau mailing list.
2. Chatting
Chatting merupakan salah satu fasilitas yang diberikan internet, dimana kita dapat berkomunikasi secara interaktif dengan satu orang atau lebih secara on-line. Dalam hal ini chatting termasuk jenis komunikasi synchronous communication, artinya komunikasi melalui internet dengan interaksi yang bersamaan waktunya.
3. Web
Web dapat diartikan sebagai tempat memajang informasi secara on line & bersifat virtual (maya) yang memiliki kaitan (link) informasi tidak terbatas. Berdasarkan informasi yang disampaikan, web dapat dibedakan menjadi tiga macam :
1. Informasi umum (berita online, info pelayanan umum dan sebagainya)
misalnya : kompas.com, liputan6.com
2. Informasi khusus (web dengan isi informasi tentang suatu lembaga, atau informasi dalam berbagai kategori) misalnya : deplu.co.id, depkominfo.go.id
3. Informasi komersial, misalnya : kapanlagi.com
Menurut jenisnya web dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu official web (website resmi yang dimiliki oleh lembaga), dan unofficial web (web tidak resmi yang dimiliki secara personal atau perorangan, seperti “blog”).
Salah satu dampak dari fenomena komunikasi virtual adalah terciptanya ruang publik (public sphere). Jika Jurgen Habermas yang dikenal sebagai generasi mazhab Frankfurt, melihat ruang publik sebagai “perkembangan wilayah sosial yang bebas dari sensor dan dominasi,” maka, hal itu pun terjadi di alam virtual. Ruang publik virtual yang tersedia melalui berbagai website, weblog, media online, dan banyak jejaring sosial lainnya, merupakan ranah publik yang tak terbantahkan.
Interaksi yang sangat intens itu dilakukan oleh masyarakat virtual sebagai sebuah kebebasan berkomunikasi dalam menyatakan pendapat, bahkan membentuk opini publik. Orang-orang yang tergabung dalam kelompok virtual tertentu, juga bisa menjalankan fungsinya sebagai pengontrol dan juga sebagai kelompok penekan (pressure groups) bagi realita kebijakan pemerintah dan ragam kondisi sosial lainnya.
Entah sadar atau tidak, interaksi yang terjadi di antara publik virtual ini telah memberikan berbagai dampak dan kesan dalam kehidupan masyarakatnya. Jalinan komunikasi di ruang publik virtual ini, mampu menggiring opini publik di dunia nyata atau dunia realita kita. Sebagai contoh, ketika ada kompasianer (Penulis di Kompas) yang mempublikasikan tulisannya, maka kompasianer lain beramai-ramai mengomentari tulisan tersebut dengan gaya dan sudut pandang masing-masing. Ada pula dukungan satu juta facebookers untuk KPK, atau dukungan Facebookers terhadap gerakan 100 pengacara untuk Prita Mulyasari, dan banyak lagi contoh lainnya.
Menurut Gun Gun Heryanto, realitas komunikasi publik virtual ini, akhirnya memberikan sebuah penekanan pada pembentukan kepekaan (sense of public), sebagai praktik sosial yang melekat secara budaya. Intinya, bangunlah budaya komunikasi virtual yang baik, yang mampu memberikan dampak positif bagi perubahan bangsa ini menuju zaman keemasannya.
2. MEDIA SOSIAL SEBAGAI VIRTUAL KOMUNIKASI PUBLIK
Sejak kemunculan internet di tahun 1990-an dan berkembang pada era 2000-an, dunia seolah tiada lagi batasan jarak dan waktu. Dunia terasa datar. Seperti dikatakan oleh Thomas Friedman, sesudah melewati masa globalisasi, dunia seolah nampak datar. Era digitalisasi menciptakan pola komunikasi baru yang murah, tanpa batasan jarak dan waktu. Setiap orang mampu dan bisa mendapatkan informasi dimana dan kapan saja. Akses materi secara digital dari seluruh dunia yang murah dan mudah memungkinkan individu-individu bekerja bersama-sama tanpa menghiraukan jarak antar mereka.
Secara definisi, media sosial mengutip penjelasan dari online Universitas Pasundan adalah sebuah media untuk bersosialisasi satu sama lain yang dilakukan secara online. Manusia dimungkinkan untuk saling berinteraksi tanpa dibatasi ruang dan waktu. Adapun jenis-jenis media social diantaranya Facebook, Twitter, Google Talk, Path, Youtube, Wikipedia, Wordpress, dan lainnya.
Kehadiran media sosial ini merupakan sebuah fenomena baru dari penciptaan inovasi teknologi. Menurut Everett Rogers difusi inovasi adalah komunikasi yang tanpa batas dilakukan oleh sebuah media (channel) kepada kelompok dalam sistem sosial. Aspek yang menentukan yaitu kehadiran teknologi komunikasi baru dan kemampuan setiap orang dalam menangkap kebaruan (inovasi).
Media sosial mampu mengawinkan batasan (level) komunikasi yang selama ini dikenal. Mulai dari bentuk komunikasi interpersonal, intrapersonal, kelompok, hingga komunikasi massa. Bahkan membentuk kriteria media baru. Media sosial mampu merubah dunia, bahkan memutarbalikannya.
Komunikasi massa yang selama ini dikenal dalam batasan media elektronik (televisi dan radio) dan akhirnya disebut sebagai media lama. Bergeser pada pola media baru yakni media sosial yang notabene lebih murah dan mampu mengreasikan opini public secara cepat. Tiadanya batasan jarak dan waktu menjadi keunggulan dari media yang mengarah pada konsep digital ini. Life is on hand.
Serupa dengan pernyataan Fulk yang dituangkan pada buku August E.Grant; Understanding Communication Technologies. Diungkapkan bahwa kategorisasi media komunikasi adalah pada kemampuan kontinuitas media. Pendekatan fasilitas yang mampu mengadopsi kebutuhan interaksi dari seseorang dalam hubungan dengan orang lain. Media akan banyak digunakan bila mampu memberikan kecepatan feedback, tipe channel yang digunakan, kemampuan personal dan bahasa.
Mengutip tulisan Erika Dwi Setya Wati pada jurnal komunikasi Universitas Semarang, volume III-nomor I. Dijelaskan bahwa kehadiran media sosial mengubah pola komunikasi. Awalnya penerima pesan hanya bersikap sebagai penikmat konten yang disajikan oleh media lama, kini berubah mampu terlibat secara aktif atas konten. Karena kemudahan, maka semua orang mampu mengakses media social kapan dan dimana saja. Nilai interaktifitas inilah yang membuat pengguna media baru bisa memilih dan mengendalikan keluaran informasi yang akan dihasilkan.
New media (media baru) merupakan media yang menawarkan digital, convergence, interaktif, dan pengembangan jaringan terkait pembuatan pesan dan penyampaian pesannya. Contoh mudah adalah fenomena Jokowi yang kini sudah menjadi Presiden RI ke-7. Ketertarikan dan pembentukan opini positif yang mengangkat dirinya lebih banyak dimainkan di media sosial. Media massa hanyalah sebagai bentuk dari penguatan atas pembentukan opini yang telah dilakukan pada jejaring social.
Walau tidak bisa dipungkiri karena ketiadabatasan dari media baru ini memungkinkan penyalahgunaan informasi bisa terjadi. Hal ini terutama bila informasi digunakan untuk tujuan negative. Media baru akan melahirkan komunitas yang dikenal dengan komunitas virtual. Fenomena ini muncul karena pengguna bisa bebas memanfaatkan ruang luas yang tersedia tanpa menunjukan identitas aslinya (Flew,2002:25).
Jadi tidak heran apabila seringkali akun yang dibuat oleh para public figure belum tentu dikerjakan oleh si pemiliki identitas, tetapi dilakukan oleh tim yang ada dibelakangnya. Dan hal itulah yang terjadi pada Jokowi. Memainkan ‘gimmick´ menjadi strategi propaganda yang dilakukan oleh tim pada media baru.
Lalu salahkah kehadiran media ini? Tentu saja tidak. Bagi Mc.Luhan ini adalah bagian dari kemajuan teknologi di bidang komunikasi. Medium adalah pesan. Ditegaskannya bahwa infomasi melahap isinya sendiri. Innis dan Mc.Luhan menyatakan teknologi komunikasi dominan sebagai pemegang peran yang menentukan dan bebas (independen).
Walau memang pada akhirnya teknologi media baru ini memberikan kontribusi pada perubahan tatanan sosial. Itulah bagian dari deterministic teknologi komunikasi. Informasi menjadi sebuah komiditi. Bagian dari sebuah industri yang mengemas konstruksi ‘kebahasaan’ menjadi kedayaan. Menurut Garin Nugroho dalam ulasannya di Koran Kompas edisi 26 Oktober 2014, jurus teknokapitalis yang mengelola pameran perhatian tiap detik dimainkan oleh media sosial.
Seringkali informasi dikemas dalam tema yang hiper-realitas dan menumbuhkan masyarakat melodramatis menjadi ciri kehidupan komunikasi public sehari-hari. Atau disebut “lebay” yang menjadi ciri komunikasi public saat ini. Hypodermic needle theory, kontemplasi media mampu memberikan efek langsung atau injeksi kepada si penerima pesan
Ini adalah salah satu sisi gelap dari hadirnya media baru yang bersifat jejaring. Antara fakta dan data seringkali menjadi kabur. Yang diutamakan hanyalah kecepatan tanpa aktualitas. Dunia menjadi terbuka alias transparan. Tiada batas dan larangan yang “únsigh”. Moral tidak bisa dikatakan berlaku universal. Keterbukaan adalah moral universal itu sendiri. Cerminan diri nampak dalam dunia maya. Diary terbuka. Data-data bertebaran di alam maya dan bisa diambil oleh siapa saja. Sadar atau tidak, keamanan pribadi sudah terlepaskan. Tiada lagi borgol etika yang mampu menjadi batasan. Informasi tiada batas.
Revolusi internet menciptakan sosial media. Tradisi tatap muka berganti menjadi virtual. Layaknya video conference yang sudah banyak digunakan di dunia bisnis, manusia tidak lagi harus saling bertemu. Pertemuan cukup dilakukan secara virtual. Teknologi skype misalnya. Orang di belahan dunia timur bisa saling berkomunikasi di waktu yang sama dengan orang di utara. No border!
Media baru bukan harus dipuja-puja. Media lama juga tidak harus ditinggalkan. Masing-masing memiliki satuan segmen manusia. Antara analog dan digital. Bijak. Itu kata kuncinya. Media ada untuk membantu kebutuhan social (Wright,1974). Komunikasi membutuhkan media.
3. KEBEBASAN BERPENDAPAT DAN DEMOKRASI
Pendapat adalah suatu pernyataan yang dikemukakan oleh seseorang atau kelompok yang berisikan pandangan mereka terhadap suatu peristiwa. Undang-Undang RI mengenai kebebasan berpendapat adalah UU no.9 Tahun 1998 tentang kebebasan berpendapat di muka umum. Seseorang diberikan kebebasan dalam mengemukakan pendapat bukan berati bebas yang sebebas-bebasnya. Melainkan mengungkapkan pendapat, pandangan serta aspirasinya dengan bebas yang disertai dengan tanggung jawab. Dengan kata lain, siapapun boleh memberikan pendapat asalkan pendapat tersebut dapat dipertanggungjawabkan.
Demokrasi di Indonesia sudah mengalami beberapa fase, sekarang ini demokrasi yang dianut oleh bangsa Indonesia adalah Demokrasi Pancasila, di dalamnya mengakui kebebasan individu yang harus di selaraskan dengan tanggung jawab sosial dalam masyarakat. Dengan begitu masyarakat Indonesia patutnya berlaku sesuai regulasi yang dibuat oleh pemerintah untuk mencapai tujuan bangsa.
Akan tetapi, adanya anggapan bahwa, “peraturan dibuat untuk dilanggar” membuat sebagian besar orang salah dalam menginterpretasikan pendapatnya. Misalnya, masih saja terjadi adanya perselisihan pada saat pemilihan umum hanya karena berbeda pendapat, tentu ini bertentangan dengan falsafah Indonesia sebagai bangsa yang demokratis.
Melihat segi yang luput dilihat oleh teori adalah persepsi. Setiap individu mempunyai persepsi yang berbeda dalam memaknai suatu informasi yang diterima, persepsi merupakan proses dimana manusia berfikir, mengolah informasi yang diterima dan menginterpretasikan tentang apa yang dilihat atau dirasakannya. Dengan persepsi yang dimiliki tiap orang, tentu akan menghasilkan pemikiran dan pendapat yang berbeda-beda. Untuk itu, kita sebagai generasi penerus bangsa harus bisa selektif dalam menyikapi kebebasan berpendapat di dalam masyarakat demokratis.
Dari analisis yang telah diuraikan dari penjelasan diatas, disimpulkan bahwa pendapat terbentuk disebabkan banyak faktor dan ada beberapa tahap dalam pembentukkannya. Pendapat biasanya diawali dari munculnya isu, bisa juga berangkat dari frame of reference dan field of experience tiap individu. Nantinya isu tersebut bisa saja mendapatkan perhatian media massa hingga informasi dan reaksi terhadap isu tersebut diketahui khalayak secara luas. Maka dari itu mari bersikap bijaksana dalam berpendapat dan menyalurkan di media yang tepat/sesuai pasti akan tercipta penyampaian pesan yang lebih efektif.
4. KEBEBASAN BERPENDAPAT YANG (MASIH) TERKEKANG
Kebebasan berpendapat merupakan bagian dari hak sipil yang diperoleh dari pemerintah. Kebebasan mengeluarkan pendapat merupakan kebebasan yang paling penting. Pentingnya kebebasan berpendapat ini dikemukakan oleh John Stuart Mill (1806 – 1873), bahwa kebebasan berbicara merupakan bidang kebebasan manusia yang tepat. Bidang ini, pertama-tama terdiri dari bidang kesadaran batin yang menuntut adanya kebebasan kata hati dalam artian yang paling sempurna, kebebasan pemikiran dan perasaan, kebebasan mengungkapkan pendapat dan perasaan terhadap semua hal, yang bersifat praktis atau spekulatif, keilmuan, moral, atau teologi.
Kemerdekaan mengeluarkan pendapat merupakan salah satu karunia Tuhan yang sangat berharga. Setiap orang mempunyai kepentingan untuk dapat mengemukakan pendapatnya secara bebas tanpa adanya tekanan dari pihak manapun. Sebab adanya batasan atau tekanan akan mengakibatkan orang merasa khawatir atau takut untuk menyampaikan pendapatnya, dan hal ini merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
Kebebasan berpendapat merupakan hak dari setiap individu masyarakat dalam mengutarakan pendapatnya mengenai kritik dan opini dengan berbagai cara baik berupa tulisan maupun lisan dengan memanfaatkan media massa seperti surat kabar, jejaring sosial, blog, millis, dan sebagainya. Kebebasan berpendapat merupakan hak setiap individu sejak dilahirkan yang telah dijamin oleh konstitusi.
Salah satu ciri adanya negara demokrasi adalah adanya jaminan atas perlindungan kebebasan berpendapat, maka sudah selayaknyalah pemerintah dalam hal ini pemegang hak eksekutif dan lembaga legislatif yaitu Dewan Perwakilan Rakyat selaku pengemban amanat rakyat dapat mendorong serta mengupayakan adanya penghormatan terhadap kebebasan berpendapat. Sebuah negara dianggap benar-benar demokratis, maka ia harus siap memberikan perlindungan substansial untuk ide-ide pengeluaran pendapat di media (John W, Johnson : 2001).
Oleh karena itu, Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum dan demokratis berwenang untuk mengatur dan melindungi pelaksanaannya. Kemerdekaan berpikir dan mengeluarkan pendapat tersebut diatur dalam Pasal 19 UUD 1945: “Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat atau mengeluarkan pendapat; hal itu meliputi kebebasan mempertahankan pendapat dengan tanpa gangguan, serta mencari, menerima, dan meneruskan segala informasi dan gagasan, melalui media apapun dan tanpa memandang batas”. Kemudian dalam perubahan keempat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 28 E ayat (3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Demikian pula halnya dengan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dalam Pasal 23 ayat (2) menyebutkan bahwa “setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan Negara.”
Apabila kebebasan berpendapat dikekang, maka akan timbul gejolak-gejolak ataupun ganjalan-ganjalan dalam hati banyak orang, yang suatu ketika dapat meledak dalam bentuk sikap-sikap dan perbuatan yang tidak baik. Peran serta masyarakat sebagai social controle sangat penting sebagai sebuah indikator berhasil atau tidaknya pembangunan dan kualitas pembangunan yang dilakukan pemerintah.
Bagi John Stuart Mill (1806 – 1873) pikiran membutuhkan kebebasan untuk dikeluarkan baik secara lisan dan tulisan. Pencarian kebenaran menuntut bahwa tantangan perdebatan dan perbedaan pendapat adalah sebuah keniscayaan. Mill mengemukakan, meskipun pendapat yang dipasung itu boleh jadi salah, hal itu mungkin, dan setidak-tidaknnya seringkali mengandung kebenaran dan karena pendapat umum atau yang tersebar luas tentang suatu hal jarang atau tidak pernah benar seluruhnya, maka hanya dengan mengawinkan berbagai pendapat yang berbeda dapat diperoleh suatu kebenaran. Jika pendapat yang diterima mungkin tidak hanya benar, tetapi benar dalam artian menyeluruh, jika hal itu ditindas dan kenyataannya memang demikian, serta ditentang keras dan gigih, pendapat itu akan dianut dengan prasangka oleh hampir semua orang tanpa benar-benar memahami dan merasakan landasan nalarnya.
Tanpa kebebasan berbicara, kebenaran akan hilang, tidak pernah ditemukan atau mungkin melemah. Dengan mengasumsikan bahwa kebenaran dapat ditemukan, kebebasan berbicara adalah penting, sekalipun tidak ada kebenaran yang harus ditemukan dalam kebebasan berbicara tetapi tetap masih penting sebagai satu-satunya alat yang tersedia untuk memilih yang terbaik dari yang terburuk.
Kasus Prita Mulyasari, boleh dikatakan merupakan isu mengenai kebebasan berpendapat yang paling menghentak tahun 2009 lalu. Awalnya, ibu muda ini hanya bermaksud mengutarakan keluh kesahnya melalui email kepada teman-temannya. Siapa yang menduga, curahan hatinya ini justru menggiringnya ke jeruji besi. OMNI International Hospital sebagai pihak yang dikritik oleh Prita merasa tidak terima dengan keluhan Prita. Pencemaran nama baik pun, menjadi alasan ampuh yang digunakan Rumah Sakit OMNI untuk merumahkan Prita ke sel tahanan.
Sebenarnya kasus mengenai upaya yang dianggap pengekangan terhadap kebebasan berpendapat tidak hanya dialami oleh Prita. Sebab sebelumnya telah ada beberapa kasus yang hampir sama menimpa para pihak yang berusaha mengeluarkan pendapatnya. Seperti yang dialami Alvin Lie dan Narliswandi Piliang pada Juni 2008 lalu, dimana Narliswandi dituduh mencemarkan nama baik karena menulis di dalam blog pribadinya. Selain itu pada November 2008 juga terdapat sebuah kasus yang berusaha mengkriminalisasi kebebasan berpendapat yang dimiliki seseorang. Erick J Adriansjah dianggap menyebarkan rumor melalui internet terhadap beberapa bank terkait kesulitan likuiditas.
Berdasarkan beberapa kasus-kasus diatas, sudah cukup membuktikan bahwa kebebasan berpendapat yang notabene sebagai hak asasi manusia dan harus dilindungi oleh negara, tapi pada kenyataannya malah begitu mudah untuk dimasukkan penjara dengan tuduhan pencemaran nama baik. Sekarang baru marak beredar tentang aksi dukungan terhadap kasus yang menjerat Suradji, salah seorang dosen di Perguruan Tinggi Negeri di Kepulauan Riau yaitu Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) Kepulauan Riau yang diskorsing selama dua semester karena dituduh berbicara berlebihan dalam mengomentari kasus-kasus politik dan pemerintahan di Kepri melalui media massa. Padahal, tuduhan terhadap dosen tersebut belum teruji kebenarannya.
Rektor UMRAH, Prof Dr. Maswardi M.Amien, M.Pd mengatakan kepada media bahwa Suradji mengkritik para pimpinan daerah di wilayah Kepri sebanyak empat kali secara berlebihan. Namun Maswardi tidak memperjelas maksud berlebihan itu sendiri, apakah mengandung unsur cacian, makian, hinaan, fitnah, atau hasutan. Padahal, penilaian terhadap sebuah karya selayaknya dilakukan menggunakan dasar dan tolak ukur yang jelas dengan melibatkan ahli hukum serta melalui mekanisme hukum yang ada.
Mekanisme hukum tersebut seharusnya ditempuh atau dilaporkan oleh si penderita atau pihak yang dirugikan itu sendiri (dalam hukum pidana dikenal dengan istilah delik aduan), kecuali bila penghinaan itu dilakukan terhadap seorang pegawai negeri pada waktu sedang menjalankan pekerjaannya secara sah di mana untuk hal ini pada dasarnya tidak diperlukan atau dibutuhak aduan dari korbannya.
Tindakan penghinaan dapat dikecualikan (tidak dapat dihukum) apabila tuduhan atau penghinaan itu dilakukan untuk membela “kepentingan umum” atau terpaksa untuk “membela diri”. Patut atau tidaknya pembelaan kepentingan umum dan pembelaan diri yang diajukan oleh tersangka terletak pada pertimbangan hakim.
Menurut Prof. Muladi, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro bahwa yang bisa melaporkan pencemaran nama baik adalah pihak yang diserang kehormatannya, direndahkan martabatnya, sehingga namanya menjadi tercela di depan umum. Namun, tetap ada pembelaan bagi pihak yang dituduh melakukan pencemaran nama baik apabila menyampaikan suatu informasi ke publik. Pertama, penyampaian informasi itu ditujukan untuk kepentingan umum. Kedua, untuk membela diri dan Ketiga, untuk mengungkapkan kebenaran. Dengan demikian orang yang menyampaikan informasi, secara lisan ataupun tulisan diberi kesempatan untuk membuktikan bahwa tujuannya itu adalah benar. Kalau tidak bisa membuktikan kebenarannya itu, maka namanya baru penistaan atau fitnah.
Suradji sebagai seorang dosen diberi skorsing dari peranannya sebagai dosen di UMRAH dengan tuduhan menulis atau berbicara melalui media massa secara berlebihan, tanpa diberitahu tulisan mana yang dimaksud, tidak melalui proses pembinaan seperti teguran, tidak member kesempatan kepada Suradji untuk melakukan klarifikasi, dan tidak berdasarkan delik aduan dari pihak “penderita”.
Pengekangan kebebasan berpendapat di Indonesia ini, bukan kali pertama terjadi dalam sejarah bangsa Indonesia. Dari rezim ke rezim, Indonesia mengalami jalan cukup panjang dan terjal mengenai penegakkan kebebasan berpendapat ini. Meskipun secara jelas aturan mengenai kebebasan berpendapat dan berekspresi ini tercantum dalam piagam PBB, pada kenyataannya untuk menegakkannya dalam sebuah negara tidaklah mudah. Rezim yang berkuasa berikut aktor dan sistem yang juga berkuasa menjadi faktor penentu bagaimana kebebasan tersebut ditegakkan. Pasalnya, merekalah yang menjadi penentu kebijakan atas kebebasan berpendapat itu sendiri.
5. MASA DEPAN DEMOKRASI INDONESIA
Tidak dapat dipungkiri, Indonesia saat ini telah menjelma sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia sekaligus negara demokrasi terbesar di kawasan Asia Tenggara. Pelaksanaan pemilihan umum tahun 1999, 2004, dan 2009 yang berlangsung secara demokratis menjadi bentuk penegasan sikap bangsa Indonesia untuk memilih demokrasi sebagai jalan hidup berbangsa dan bernegara.
Meski begitu, harus diakui pula, setelah 14 tahun berpaling dari rezim otoritarianisme, eksistensi demokrasi di Indonesia ternyata belum banyak memberi arti. Demokrasi seakan hanya menjadi konsumsi sekelompok elite politik. Apa yang ada di benak sebagian besar elite politik kita bukan bagaimana cara menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat, melainkan justru kapan dan bagaimana cara merebut, menjalankan, dan mempertahankan kekuasaan.
Belakangan ini makin banyak pihak yang membicarakan nasib alias masa depan Indonesia, terutama demokrasinya. Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, B Lynn Pascoe, di American Corner UGM, misalnya, pernah menyatakan, masa depan bangsa Indonesia sebenarnya tergantung pada rakyat dan pemerintah Indonesia sendiri.
Lynn mengatakan, Indonesia berpotensi menjadi negara besar yang maju di masa depan dan akan masuk dalam jajaran 4 negara terbesar dunia. Tapi itu semua tergantung pada kerja bangsa Indonesia. Demokrasi yang sedang dibangun di Indonesia, akan membantu ke arah itu. Dan, tegas Lynn, jalan ke arah negara yang makin demokratis itu sudah makin terlihat.
Kita juga ingin tahu bagaimana nasib alias masa depan Indonesia. Kita tentu sangat ingin melihat Indonesia menjadi negara demokratis. Tapi persoalannya, bagaimana sebetulnya masa depan Indonesia, terutama demokrasinya. Bagaimana pula meraih dan menjaga demokrasi Indonesia tersebut.
Kekaguman pihak luar terhadap cara-cara berinteraksi bangsa Indonesia sebenarnya telah tergambar cukup lama. Bangsa ini dikenal sebagai bangsa ramah tamah, punya toleransi dalam kehidupan beragama, dan bisa hidup berdampingan dengan bangsa lain atas dasar prinsip saling menghormati dan menjunjung tinggi nilai kemerdekaan.
Prinsip itu susungguhnya suatu budaya dan perilaku politik yang bersumber pada nilai-nilai dalam Pancasila. Sebagai acuan nilai moral, Pancasila adalah falsafah ideologi yang bisa diaplikasikan secara dinamis dan universal.
Kalau dipikirkan secara bijak, makna kompetisi dalam pemilu lalu, hakikatnya merupakan kemenangan rakyat Indonesia dalam memperjuangkan cita-cita demokrasi. Sehingga ke depan, dinamika politik nasional diharapkan merupakan perilaku politik yang didasarkan pada upaya memadukan secara serasi antara logika politik yang normatif dengan realitas politik yang etis demi memperjuangkan kepentingan rakyat.
Tampaknya pengertian itu perlu dijadikan cita-cita perjuangan oleh elite politik kita. Jika ada niat dan itikad politik yang baik, bangsa Indonesia bisa menemukan rumusan demokrasi yang paling sesuai dengan budaya Indonesia. Makna implisitnya tak lain adalah demokrasi Pancasila.
Kesuksesan bangsa Indonesia dalam meletakkan dasar-dasar demokrasi seperti itu perlu terus berlanjut pada upaya penataan kehidupan bernegara. Presiden terpilih nanti perlu pula senantiasa siap bekerja sama dengan siapa pun dalam membangun budaya politik yang lebih santun tanpa mempersoalkan latar belakang politik.
Pembenahan kepemerintahan dan penataan berbagai kebijakan publik perlu menjadi prioritas berikutnya. Ini dilakukan guna menumbuhkan penegasan makna demokrasi itu sendiri, sehingga nilai politis yang diharapkan tumbuh itu dapat dirasakan seluruh lapisan rakyat. Kalau hal ini terjadi, proses pembangunan demokrasi akan cepat sukses dan bisa dirasakan secara nyata oleh rakyat yang secara formal berada pada hierarki sistem politik yang lebih rendah.
Baru sebentar merasa lega setelah pemilihan legislatif dan pemilihan presiden, masyarakat dikejutkan oleh Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang kontroversial. Apa implikasi pilkada oleh DPRD bagi demokrasi di Indonesia? Apalagi kalau ternyata upaya ini lebih terkait dengan efek hasil pilpres daripada usaha untuk memajukan demokrasi di Indonesia.
Sudah banyak dibahas keterbatasan demokrasi perwakilan. Bahaya ini sudah diperingatkan oleh Nietzsche: demokrasi (parlemen) membuat orang-orang medioker menjadi penguasa, sebaliknya orang-orang unggul direpresi. Pandangan kontroversial ini membuat Nietzsche dicap sebagai anti demokrasi. Pesan Nietzsche sebetulnya sederhana: demokrasi yang konon untuk mengakui manusia dengan potensinya justru direduksi dalam suatu prosedur buatan orang-orang kerdil yang membuat orang-orang unggul ini tidak nongol keluar.
Kalau diungkapkan dalam bahasa filsafat politik kontemporer, demokrasi itu justru terjadi kalau mereka yang selama ini tidak diperhitungkan (discounted) mulai diperhitungkan (counted) (J Rancière, 1999). Gagasan demokrasi sangat kontras dengan ide penghapusan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung. Argumentasi dalam ide penghapusan itu bisa membuat kita mengalami sesat pikir dalam politik demokrasi.
Karena dipilih oleh rakyat, para anggota DPR merasa berhak menentukan cara pilkada (sejauh penentuan itu sesuai prosedur, misalnya suara terbanyak) termasuk mengusulkan pilkada oleh DPRD, karena pemilihan langsung memboroskan uang dan menimbulkan banyak konflik horizontal.
Dalam argumentasi tersebut kita melihat bahaya praktik demokrasi yang justru sedang melawan demokrasi tersebut sendiri (democracy against democracy) (G Agamben, et al, 2011). Bolehkah anggota DPR membuat aturan pilkada tanpa melibatkan rakyat secara langsung karena sudah diwakili oleh DPRD? Di sinilah terletak persoalan etika-politik demokrasi yang bisa membunuh demokrasi itu sendiri, bahkan politik dalam arti yang sebenarnya (bukan politik parlemen).
Realitas politis suatu bangsa tidak bisa direduksi ke dalam politik parlemen. Realitas politik di parlemen sebagai lembaga representasi rakyat tidak menyedot habis realitas politik yang hidup di rakyat. Politik rakyat tidak selesai dengan terpilihnya para anggota parlemen yang seolah- olah bisa melakukan apa saja karena mereka sudah dipilih oleh rakyat.
Sebaliknya, parlemen seharusnya mencari berbagai cara (antara lain membuat undang- undang) agar bangsa ini bisa mencari orang- orang unggul dengan memperhitungkan (to count) mereka yang selama ini tidak diperhitungkan (discounted).
Ide penghapusan pilkada secara langsung mengesankan bahwa sekelompok besar orang di parlemen takut munculnya orang unggul.Kita seakan-akan dalam keadaan darurat sehingga harus menarik arena demokrasi dari rakyat ke parlemen. Ini tragis, pertanda kembalinya Ancien Régime!
DAFTAR PUSTAKA
Lance Strate, et al.-ed., “Surveying The Eletronics Landscape : An Introduction to Communication and Communication and Cyberspace,” Communication and Cyberspace (1996)
Lievrouw, Leah A. & Sonia Livingstone. 2006, Handbook of New Communcation Technologi Media: Social Shaping and Social Consquences of ITCs, Sage Publication Ltd. London.
http://komunikasi.us/index.php/course/2609-media-sosial-virtual-komunikasi
http://media.kompasiana.com/new-media/2010/11/07/komunikasi-publik-virtual-315472.html
http://batampos.co.id/08-11-2014/kebebasan-berpendapat-yang-(masih)-terkekang/
https://prezi.com/nl9fkx2o4b-9/kebebasan-berpendapat-dan-demokrasi-membahas-komunikasi-se/
http://marcharunyke.blogspot.com/2012/01/kebebasan-berpendapat-dan-demokrasi-di.html
http://nasional.kompas.com/read/2014/09/24/11442811/Menyelamatkan.Masa.Depan.Demokrasi
http://pelita.or.id/baca.php?id=65685
http://komunitasvirtual.wordpress.com/
Posting Komentar