-->

Jumat, 27 November 2015

Kajian Budaya dan Interaksi Simbolik

1.1       Latar Belakang

Tidak ada batasan antara budaya dan komunikasi, seperti yang dinyatakan Hall, “Budaya adalah komunikasi,dan komunikasi adalah budaya”. Dengan kata lain ketika membahas budaya dan komunikasi sulit untuk memutuskan mana yang menjadi suara dan mana yang menjadi gemanya. Alasannya adalah karena anda “mempelajari” budaya anda melalui komunikasi dan pada saat yang sama komunikasi merupakan refleksi budaya anda.


Fungsi dasar dari budaya adalah untuk melayani kebutuhan vital dan praktis manusia, untuk membentuk masyarakat juga untuk memelihara spesies, menurunkan pengetahuan dan pengalaman berharga ke generasi berikutnya, untuk menghemat biaya dan bahaya dari proses pembelajaran semuanya mulai dari kesalahan kecil selama proses coba-coba sampai kesalahan fatal.
Apabila kita berbicara tentang kebudayaan maka kita akan langsung berhadapan dengan makna dan arti tentang budaya itu sendiri. Secara umum budaya sendiri budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal- hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia, dalam bahasa inggris kebudayaan disebut culture yang berasal dari kata latin colere yaitu mengolah atau mengerjakan dapat diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani, kata culture juga kadang sering diterjemahkan sebagai “Kultur” dalam bahasa Indonesia.
Geertz dalam bukunya “Mojokuto; Dinamika Sosial Sebuah Kota di Jawa”, mengatakan bahwa budaya adalah suatu sistem makna dan simbol yang disusun dalam pengertian dimana individu-individu mendefinisikan dunianya, menyatakan perasaannya dan memberikan penilaian-penilaiannya, suatu pola makna yang ditransmisikan secara historis, diwujudkan dalam bentuk-bentuk simbolik melalui sarana dimana orang-orang mengkomunikasikan,  mengabdikan, dan mengembangkan pengetahuan, karena kebudayaan merupakan suatu sistem simbolik maka  haruslah  dibaca,  diterjemahkan  dan diinterpretasikan.
Sementara Selo Soemardjan dan Soeleman Soemardi merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya agar kekuatan serta hasilnya dapat diabadikan untuk keperluan masyarakat.
Komunikasi adalah pendukung utama eksistensi sistem sosial karena tanpa terjadinya komunikasi maka sekelompok orang yang berada dalam suatu wilayah tertentu tidak dapat disebut sebagai masyarakat. Komunikasi juga menjadi sarana bagi manusia untuk memahami dan menginterpretasikan situasi sekelilingnya.
Bagi para pakar dari tradisi interaksional, komunikasi dan makna adalah reralitas sosial yang nyata, dan penjelasan-penjelasan kognitif dipandang sebagai kurang penting. Makna diciptakan dan ditopang oleh interaksi dalam kelompok-kelompok sosial. Interaksi, mengukuhkan, memelihara, dan mengubah beberapa konvensi – peran, norma, aturan-aturan, dan makna – didalam suatu kelompok sosial atau budaya dan konvensi ini pada gilirannya mendefinisikan realitas atau budaya itu sendiri.
Menurut teori interaksionisme simbolik, interaksi sosial penting sebagai sebuah sarana ataupun sebagai sebuah penyebab tingkah laku manusia. Dalam interaksi simbolik terjadi penyajian gerak isyarat dan respon terhadap arti dari gerak isyarat tersebut. Pihak-pihak yang berinteraksi mengambil peran secara seimbang sehingga komunikasi dalam interaksi tersebut dapat berjalan efektif.

Dalam interaksi simbolik orang menginterpretasikan masing-masing tindakan dan isyarat orang lain berdasarkan arti yang dihasilkan dari interpretasi tersebut. Pandangan ini kemudian diyakini oleh banyak teoretisi komunikasi sebagai pendekatan yang lebih tepat untuk mengkaji fenomena dan realitas komunikasi atau interaksi sosial dalam masyarakat.

2.1       Budaya itu Dipelajari

Salah satu karakter penting dari budaya adalah bahwa budaya itu dipelajari. Dari lahir hingga akhir hidup anda, anda mencari dunia yang anda inginkan. Apa yang disambut bayi yang baru lahir begitu membingungkan, dengan masa transisi yang singkat, mendapati bahwa penglihatan, pendengaran, perasaaan, dan sensasi lain yang dialaminya tidak mengandung arti. Kebingungan ini diatasi oleh budaya, anak yang lahir dalam suatu masyarakat menemukan masalah yang sudah pernah dialami semua orang yang lahir sebelumnya.
Seiring dengan berpindahnya anak dari kata ke kata, kejadian ke kejadian, dan orang ke orang, mereka berusaha mengerti. Arti yang diperoleh anak dari pengalaman ini merupakan hasil dari budaya dan proses pembelajaran.
Seperti yang digaris bawahi dalam pernyataan Ferraro, tanpa manfaat dari belajar pada orang yang hidup sebelumnya, hidup akan menjadi sulit –kalau tidak mustahil. Sebenarnya pengetahuan suatu kelompok  yang disimpan (dalam ingatan, buku, dan barang) untuk digunakan di masa yang akan datang merupakan konsep utama dari budaya.
Ketika kita membahas pembelajaran, kita menggunakan kata-kata yang bermakna cukup luas. Apa yang kita bahas adalah tentang pembelajaran formal maupun informal. Pembelajaran formal yang kadang sulit dikenali, biasanya terjadi melalui interaksi, pengamatan dan imitasi. Pengajaran formal tentang budaya jauh lebih terstruktur dan kadang tergantung pada institusi yang berada dalam budaya tersebut, seperti sekolah dan tempat ibadah.


2.2       Budaya itu Dibagikan

Cara menyebarkan budaya dapat dalam berbagi bentuk (pepatah, cerita, karya seni) dan dapat melihat banyak “penyebar” (keluarga, teman, media, sekolah, gereja), tetapi elemen kunci dari budaya itu (nilai, ide, persepsi) harus dibagikan diantara anggota suatu budaya. Dengan berbagi sejumlah persepsi dan tingkah laku, anggota dari suatu budaya dapat juga membagikan identitas budaya mereka yang umum. Identitas budaya ini menghasilkan suatu situasi dimana anggota dari tiap budaya “mengenal mereka sendiri dan tradisi budayanya berbeda dari orang lain dan tradisi orang lain.


2.3       Budaya itu Didasarkan pada Simbol

Hubungan antara budaya dan simbol menjadi jelas ketika Ferraro menuliskan, “simbol mengikat orang yang mungkin saja bukanlah bagian dari suatu kelompok yang bersatu”. Portabilitas (sifat mudah dibawa) simbol memungkinkan orang untuk membungkus, menyimpan, dan menyebarkannya. Pikiran, buku, gambar, film, tulisan tentang agama, video, aksesori komputer dan sebagainya memungkinkan suatu budaya melestarikan apa yang dianggap penting dan berharga untuk diturunkan. Hal ini membuat setiap individu, tanpa memandang generasinya, mewarisi sejumlah informasi yang sudah dikumpulkan dan dipertahankan sebagai antisipasi ketika ia masuk dalam suatu budaya.
Simbol merupakan segala sesuatu yang mengandung makna khusus yang diketahui oleh orang-orang yang menyebarkan budaya. Simbol budaya dapat dalam bentuk, gerakan, pakaian, objek, bendera, ikon keagamaan, dan sebagainya. walaupun begitu aspek simbolis yang penting dari budaya adalah bahasa – penggunaan kata-kata untuk mewakili benda dan pandangan. Melalui bahasa, kita dapat belajar dari pengalaman yang terakumulasi dan dibagikan


2.4       Unsur-Unsur Kebudayaan

Seperti yang dituliskan Haviland, seorang penulis Inggris mengatakan “Bagi manusia, budayalah yang membatasi dan mengarahkan perilaku”. Budaya membuat segala sesuatu jadi mudah. Mudah karena budaya melindungi orang dari yang tidak diketahui dengan menawarkan mereka suatu gambaran tentang semua aktivitas hidup. Walaupun mungkin orang dengan budaya yang berbeda akan menyimpang dari gambaran ini, paling tidak mereka tahu apa yang diharapkan budaya pada mereka.
Budaya terdiri atas elemen-elemen yang tidak terhitung jumlahnya (makanan, tempat tinggal, pekerjaan, pertahanan, kontrol sosial, perlindungan psikologis, keharmonisan sosial, tujuan hidup, dan lain-lain). Elemen-elemen yang membentuk budaya adalah sejarah, agama, nilai-nilai, organisasi sosial, dan bahasa.
Mempelajari unsur-unsur yang terdapat dalam sebuah kebudayaan sangat penting untuk memahami kebudayaan manusia, Kluckhon dalam bukunya yang berjudul Universal Categories of Culture membagi kebudayaan yang ditemukan pada semua bangsa di dunia dari sistem kebudayaan yang sederhana seperti masyarakat pedesaan hingga sistem kebudayaan yang kompleks seperti masyarakat perkotaan.
Kluckhon membagi sistem kebudayaan menjadi tujuh unsur kebudayaan universal atau disebut dengan kultural universal. Menurut Koentjaraningrat, istilah universal menunjukkan bahwa unsur-unsur kebudayaan bersifat universal dan dapat ditemukan di dalam kebudayaan semua bangsa yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Ketujuh unsur kebudayaan tersebut adalah :
1.        Sistem Bahasa
Bahasa merupakan sarana bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan sosialnya untuk berinteraksi atau berhubungan dengan sesamanya. Dalam ilmu antropologi, studi mengenai bahasa disebut dengan istilah antropologi linguistik. Menurut Keesing, kemampuan manusia dalam membangun tradisi budaya, menciptakan pemahaman tentang fenomena sosial yang diungkapkan secara simbolik, dan mewariskannya kepada generasi penerusnya sangat bergantung pada bahasa. Dengan demikian, bahasa menduduki porsi yang penting dalam analisa kebudayaan manusia.
2.        Sistem Pengetahuan
Sistem pengetahuan dalam kultural universal berkaitan dengan sistem peralatan hidup dan teknologi karena sistem pengetahuan bersifat abstrak dan berwujud di dalam ide manusia. Sistem pengetahuan sangat luas batasannya karena mencakup pengetahuan manusia tentang berbagai unsur yang digunakan dalam kehidupannya. Banyak suku bangsa yang tidak dapat bertahan hidup apabila mereka tidak mengetahui dengan teliti pada musim-musim apa berbagai jenis ikan pindah ke hulu sungai. Selain itu, manusia tidak dapat membuat alat-alat apabila tidak mengetahui dengan teliti ciri ciri bahan mentah yang mereka pakai untuk membuat alat-alat tersebut. Tiap kebudayaan selalu mempunyai suatu himpunan pengetahuan tentang alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, benda, dan manusia yang ada di sekitarnya.
3.        Sistem Sosial
Unsur budaya berupa sistem kekerabatan dan organisasi sosial merupakan usaha antropologi untuk memahami bagaimana manusia membentuk masyarakat melalui berbagai kelompok sosial. Menurut Koentjaraningrat tiap kelompok masyarakat kehidupannya diatur oleh adat istiadat dan aturan-aturan mengenai berbagai macam kesatuan di dalam lingkungan di mana dia hidup dan bergaul dari hari ke hari. Kesatuan sosial yang paling dekat dan dasar adalah kerabatnya, yaitu keluarga inti yang dekat dan kerabat yang lain. Selanjutnya, manusia akan digolongkan ke dalam tingkatantingkatan lokalitas geografis untuk membentuk organisasi sosial dalam kehidupannya.
4.        Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
Manusia selalu berusaha untuk mempertahankan hidupnya sehingga mereka akan selalu membuat peralatan atau benda-benda tersebut. Perhatian awal para antropolog dalam memahami kebudayaan manusia berdasarkan unsur teknologi yang dipakai suatu masyarakat berupa benda-benda yang dijadikan sebagai peralatan hidup dengan bentuk dan teknologi yang masih sederhana. Dengan demikian, bahasan tentang unsur kebudayaan yang termasuk dalam peralatan hidup dan teknologi merupakan bahasan kebudayaan fisik.
5.        Sistem Mata Pencaharian Hidup
Mata pencaharian atau aktivitas ekonomi suatu masyarakat menjadi fokus kajian penting etnografi. Penelitian etnografi mengenai sistem mata pencaharian mengkaji bagaimana cara mata pencaharian suatu kelompok masyarakat atau sistem perekonomian mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
6.        Sistem Religi
Asal mula permasalahan fungsi religi dalam masyarakat adalah adanya pertanyaan mengapa manusia percaya kepada adanya suatu kekuatan gaib atau supranatural yang dianggap lebih tinggi daripada manusia dan mengapa manusia itu melakukan berbagai cara untuk berkomunikasi dan mencari hubungan-hubungan dengan kekuatan-kekuatan supranatural tersebut. Dalam usaha untuk memecahkan pertanyaan mendasar yang menjadi penyebab lahirnya asal mula religi tersebut, para ilmuwan sosial berasumsi bahwa religi suku-suku bangsa di luar Eropa adalah sisa dari bentuk-bentuk religi kuno yang dianut oleh seluruh umat manusia pada zaman dahulu ketika kebudayaan mereka masih primitif.
7.        Kesenian
Perhatian ahli antropologi mengenai seni bermula dari penelitian etnografi mengenai aktivitas kesenian suatu masyarakat tradisional. Deskripsi yang dikumpulkan dalam penelitian tersebut berisi mengenai benda-benda atau artefak yang memuat unsur seni, seperti patung, ukiran, dan hiasan. Penulisan etnografi awal tentang unsur seni pada kebudayaan manusia lebih mengarah pada teknikteknik dan proses pembuatan benda seni tersebut. Selain itu, deskripsi etnografi awal tersebut juga meneliti perkembangan seni musik, seni tari, dan seni drama dalam suatu masyarakat.


2.5       Agama dan Simbol

Berkenaan tentang pembahasan agama dan simbol, Emiel Durkheim berpendapat bahwa agama adalah sistem yang menyatu mengenai kepercayaan dan peribadatan dengan menggunakan benda-benda sakral, sedangkan Geertz dalam bukunya The Interpretation of Cultures mengatakan bahwa agama adalah sistem kebudayaan yang erat hubungannya dengan simbol-simbol.
Dari beberapa pernyataan tokoh diatas dapat kita lihat bahwa agama erat kaitannya dengan simbol sebagai media penghubung antara yang Esa dengan manusia, pada kenyataannya seperti sholat dalam agama Islam yang merupakan gerakan simbolik untuk memuja Allah, dalam agama–agama yang lain juga terdapat simbol dalam berbagai rangkaian ritual pemujaan terhadap Tuhannya.
Pembentukan simbol dalam agama adalah kunci yang membuka pintu pertemuan antara kebudayaan dan agama, karena agama tidak mungkin dipikirkan tanpa simbol. Dalam prosesnya dari ajaran- ajaran kepercayaan muncul adanya ritual-ritual yang diatur oleh aturan tertentu sesuai dengan kepercayaan dan keyakinan atau adat tertentu suatu masyarakat. Aturan seperti ini yang mengikat masyarakat atau kelompok  masyarakat  untuk  terus melakukannya dengan harapan jauh dari malapetaka.
Mitos yang seperti ini kemudian berubah menjadi ritual yang disertai dengan penggunaan simbol dalam pelaksanaanya, simbol dalam ritus tersebut yang kemudian menjadi benda-benda yang disakralkan dalam masyarakat. Contoh dalam hal ini adalah upacara slametan sebagai bentuk ritual pemujaan terhadap Tuhan dengan berbagai simbol dalam pelaksanaanya seperti Tumpeng, Sego Golong, apem atau apapun itu.
Dalam analisis inkulturasi pembentukan simbol ekspresif dalam peristiwa atau studi kasus biasanya mencakup :
1.   Tempat dan harapan. Tempat perayaan atau upacara liturgy ekaristi yang biasanya diselenggarakan didalam sebuah bangunan gereja, atau upacara pemujaan yang dilakukan masyarakat Hindu depan altar-altar, umat muslim dalam masjid dengan menghadap arah kiblat.
2.        Waktu atau saat upacara, biasanya waktu pelaksanaan ditetapkan merupakan salah satu ciri ritual yang sakral. Kaum muslim menjalankan sholat dengan waktu tertentu. Seperti kebanyakan ritual dijawa seperti selametan, ketentuan waktu diharapkan menjadi kekuatan yang menghubungkan kehendak manusia dengan penguasa yang disembah atau dipuja.
3.  Bilangan atau angka, seperti dipaparkan dalam pembentukan simbol, bilangan atau angka merupakan suatu pembentukan simbol yang ada hubungannya dengan inkulturasi. Seperti makna angka sembilan dalam filosofi jawa yang umumnya mengandung makna simbolis tentang kehidupan. Dalam filosofi jawa angka sembilan banyak dikaitkan dengan kekuatan kekuatan metafisik serta kepercayaan mitos. Angka sembilan juga mempunyai peran penting untuk menentukan hari beribadat, para ahli sihir dan dukun sejak dahulu kala memakai angka sembilan untuk memilih hari peringatan arwah nenek moyang serta menentukan rumus-rumus mantera.
4.     Media bahasa, pemakaian bahasa merupakan salah satu cara pengungkapan diri yang berfungsi sebagai pengantar pertemuan antara manusia dan tuhan.
5.    Media sikap, meliputi sikap yang dilakukan umat beragama yang menandakan ketundukannya kepada tuhan.
6.    Media tari, seperti yang dilaksanakan kepercayaan-kepercayaan jawa untuk mengekspresikan ketakjuban dan ketundukan terhadap pemimpin atau ruh nenek moyang yang mereka agungkan.
7.    Media musik, inkulturasi pembentukan media musik yang digunakan dalam liturgi jawa berupa kidungan, gendhing, karawitan jawa dan slawatan. Musik atau lagu menjadi simbol ekspresif seni jawa yang sangat menonjol hingga saat ini.
8.        Perlengkapan persembahan, bisa diumpamakan dari perlengkapan pakaian yang dipakai, hingga benda-benda tertentu yang dibutuhkan dalam kelancaran pelaksanaan ritual.

Dari analisa beberapa studi kasus diatas dapat kita simpulkan bahwa kajian mengenai simbol-simbol dan bagaimana simbol-simbol itu dimanfaatkan untuk mengkaji masalah agama dan keagamaan, sebetulnya sangat menarik dan penting. Menarik karena pendekatan simbolik terhadap masalah agama dan keagamaan ternyata menghadirkan peluang yang sangat besar untuk bisa lebih memahami makna-makna yang tersembunyi dibalik simbol-simbol agama, baik yang ada dibalik isi teks-teks agama maupun dalam prilaku keagamaan. Penting karena ternyata pendekatan semiotik ini bisa memberi suatu model pemecahan baru yang berbeda dengan ketika agama dan keagamaan di dekati secara normatif yang cenderung doktrine.
Simbol tidak saja kesederhanaan sebuah refleksi atas dunia alami sebagaimana yang telah kita lihat dalam hubungan dengan peristiwa alam, melainkan simbol juga merupakan refleksi dari kreatifitas dan imajinasi manusia. Simbol keagamaan dapat dilihat sebagai sesuatu yang penuh arti. Dengan demikian agama sebagai fakta dan sejarah memiliki dimensi simbolis atau mitis dan sosiologis. Demensi simbolis atau mistis mengandung arti, bahwa agama merupakan struktur sebuah makna (meaning structure) yang berada pada ranah abstrak, terlepas dari ruang waktu.


2.6       Interaksi Simbolik

Komunikasi yang berlangsung dalam tatanan interpersonal tatap muka dialogis timbal balik dinamakan interaksi simbolik (Symbolic Interaction). Kini Interaksi Simbolik telah menjadi istilah komunikasi dan sosiologi yang bersifat interdisipliner. Objek materialnya pun sama, yaitu manusia dan perilaku manusia (human behavior).
Interaksi adalah istilah dan garapan sosiologi; sedangkan simbolik adalah garapan komunikologi atau ilmu komunikasi. Kontribusi utama sosiologi pada perkembangan ilmu psikologi sosial yang melahirkan perspektif interaksi simbolik.
Berdasarkan apa yang menjadi dasar dari kehidupan kelompok manusia atau masyarakat, beberapa ahli dari paham interaksi simbolik menunjuk pada “komunikasi” atau secara lebih khusus “simbol-simbol” sebagai kunci untuk memahami kehidupan manusia itu. Interaksi simbolik menunjuk pada sifat khas dari interaksi antarmanusia. Artinya manusia saling menerjemahkan dan mendefenisikan tindakannya, baik dalam interaksi dengan orang lain maupun dengan dirinya sendiri.  Proses interaksi yang terbentuk melibatkan pemakaian simbol-simbol bahasa, ketentuan adat-istiadat, agama dan pandangan-pandangan.
Interaksi simbolik sebagai salah satu pendekatan dalam sosiologi diperkenalkan pertama kali oleh Herbert Mead tahun 1934 di Universitas Chicago Amerika Serikat (Suprapto, 2002:127). Menurut Mead, interaksi sosial dalam masyarakat terjadi dalam bentuk utama yaitu :
1.      Percakapan isyarat (interaksi nonsimbolik)
2.      Penggunaan simbol-simbol penting  (interaksi simbolik). 
Pernyataan tersebut menegaskan bahwa penekanan interaksi simbolik adalah pada konteks simbol, sebab di sini orang mencoba memahami makna atau maksud dari suatu aksi yang dilakukan satu dengan yang lain.
Blumer (dalam Veeger, 1993:224-227) mengembangkan lebih lanjut gagasan Mead dengan mengatakan bahwa ada lima konsep dasar dalam interaksi simbolik, yaitu;
a.       Konsep diri (self), memandang manusia bukan semata-mata organisme yang bergerak dibawah pengaruh stimulus, baik dari luar maupun dari dalam, melainkan “organisme yang sadar akan dirinya” (an organism having a self). Ia mampu memandang diri sebagai objek pikirannya dan bergaul atau berinteraksi dengan diri sendiri.
b.      Konsep perbuatan (action), karena perbuatan manusia dibentuk dalam dan melalui proses interaksi dengan diri sendiri, maka perbuatan itu berlainan sama sekali dengan gerak makhluk lain selain manusia. Manusia menghadapi berbagai persoalan kehidupannya dengan beranggapan bahwa ia tidak dikendalikan oleh situasi, melainkan merasa diri di atasnya. Manusia kemudian merancang perbuatannya. Perbuatan manusia itu tidak semata-mata sebagai reaksi biologis, melainkan hasil konstruksinya.
c.       Konsep objek (object), memandang manusia hidup di tengah-tengah objek. Objek itu dapat bersifat fisik seperti kursi, atau khalayan, kebendaan atau abstrak seperti konsep kebebasan, atau agak kabur seperti ajaran filsafat. Inti dari objek itu tidak ditentukan oleh ciri-ciri instriknya, melainkan oleh minat orang dan arti yang dikenakan kepada objek-objek itu.
d.      Konsep interaksi sosial (social interaction), interaksi berarti bahwa setiap peserta masing-masing memindahkan diri mereka secara mental ke dalam posisi orang lain. Dengan berbuat demikian, manusia mencoba memahami maksud aksi yang dilakukan oleh orang lain, sehingga interaksi dan komunikasi dimungkinkan terjadi. Interaksi itu tidak hanya berlangsung melalui gerak-gerik saja, melainkan terutama melalui simbol-simbol yang perlu dipahami dan dimengerti maknanya.
e.       Konsep tindakan bersama (joint action), artinya aksi kolektif yang lahir dari perbuatan masing-masing peserta kemudian dicocokan dan disesuaikan satu sama lain. Inti dari konsep ini adalah penyerasian dan peleburan banyaknya arti, tujuan, pikiran dan sikap. Oleh karena itu, interaksi sosial memerlukan banyaknya waktu untuk mencapai keserasian dan peleburan. Eratnya kaitan antara aktivitas kehidupan manusia dengan simbol-simbol karena memang kehidupan manusia salah satunya berada dalam lingkungan simbolik.
Ketiga asumsi tersebut kemudian melahirkan pokok-pokok pemikiran interaksi simbolik yang menjadi ciri-ciri utamanya yaitu;
a)      Interaksi simbolik adalah proses-proses formatif dalam haknya sendiri,
b)      Karena hal tersebut, maka ia (interaksi simbolik) membentuk proses terus menerus yaitu proses pengembangan atau penyesuaian tingkah laku, dimana hal ini dilakukan melalui proses dualisme definisi dan interpretasi,
c)      Proses pembuatan interpretasi dan definisi dari tindakan satu orang ke orang lain berpusat dalam diri manusia melalui interaksi simbolik yang menjangkau bentuk-bentuk umum hubungan manusia secara luas (Mead dalam  Suprapto (2002:163)).
Sementara itu, Ritzer (1992:209) menyatakan bahwa teori interaksionisme simbolik mengandung beberapa prinsip dasar sebagai berikut;
1.      Manusia tidak seperti binatang yang lebih rendah, karena manusia dikaruniai kapasitas berpikir.
2.      Kapasitas berpikir tersebut terbentuk oleh adanya interaksi sosial.
3.      Dalam interaksi sosial, manusia mempelajari arti simbol-simbol yang memungkinkan mereka menggunakan kemampuan khusus untuk berpikir.
4.      Makna-makna dan simbol-simbol memungkinkan manusia secara khusus membedakan aksi dan interaksi.
5.      Manusia dapat mengubah makna-makna dan simbol-simbol yang mereka gunakan dalam aksi dan interaksi berdasarkan interpretasi mereka terhadap situasi tertentu.
6.      Manusia dapat membuat modifikasi dan perubahan-perubahan karena  kemampuan mereka berinteraksi dengan diri mereka sendiri, yang memungkinkan mereka menguji aksi yang mana yang mungkin dapat dijalankan, menilai kerugian dan keuntungan, serta memilih salah satunya.
Tokoh-tokoh yang beraliran interaksi simbolik diantaranya adalah Wiliam James, James M. Baldwin, John Dewey, George H. Mead, kemudian dilanjutkan oleh Charles Horton Cooley, William I. Thomas dan Kuhn, dan Herbert Blumer. Para tokoh ini sepakat menggunakan nama interaksi simbolik untuk menjelaskan suatu tindakan bersama, pada saatnya nanti akan membentuk struktur sosial atau kelompok-kelompok masyarakat lain melalui interaksi yang khas.
Teori interaksi simbolik mengasumsikan bahwa individu-individu melalui aksi dan interaksinya yang komunikatif, dengan memanfaatkan simbol-simbol bahasa serta isyarat lainnya – yang akan mengonstruk masyarakatnya (Soeprapto, 2002).


3.1       Kesimpulan

Kebudayaan merupakan elemen subjektif dan objektif yang dibuat manusia yang dimasa lalu meningkatkan kemungkinan untuk bertahan hidup, melayani kebutuhan vital dan praktis manusia –untuk membentuk masyarakat juga memelihara spesies, menurunkan pengetahuan dan pengalaman berharga ke generasi berikutnya, untuk menghemat biaya dan bahaya dari proses pembelajaran semuanya mulai dari kessalahan kecil selama proses coba-coba sampai kesalahan fatal.
Interaksi simbolik dalam ilmu sosial, khususnya komunikasi, merupakan teori dasar dan variannya mencakup berbagai teori, diantaranya; labelling theory, teori transformasi identitas. Teori tersebut dapat digunakan dalam menganalisis gejala masyarakat, karena berakar dan berfokus pada hakikat manusia sebagai makhluk relasional.
Interaksi itu sendiri membutuhkan simbol-simbol tertentu. Keunikan dan dinamika simbol dalam proses interaksi sosial menuntut manusia harus lebih kritis, peka, aktif, dan kreatif dalam menginterpretasikan simbol yang muncul dalam interaksi sosial. Jadi, teori ini memberikan pandangan yang menonjolkan mengenai perilaku komunikasi antar manusia dalam konteks yang sangat luas dan bervariasi. Teori ini dikembangkan dengan baik, mulai dari peranan diri kemudian berkembang pada penelitian mengenai diri dalam masyarakat.

3.2       Referensi

Larry A. Samovar, Richard E. Porter, Edwin R. McDaniel. 2010. Communication Between Cultures. Terjemahan; Komunikasi Lintas Budaya. Penerbit Salemba Humanika. Jakarta.
Dedi Ahmadi. 2005. Jurnal Ilmiah. Interaksi Simbolik: Suatu Pengantar.
Nuryani Tri Rahayu. 2010. Jurnal Ilmiah. Teori Interaksi Simbolik dalam Kajian Komunikasi. FISIP Universitas Bantara Sukoharjo.

3 Comments: