1.1 Latar Belakang
Tidak
ada batasan antara budaya dan komunikasi, seperti yang dinyatakan Hall, “Budaya
adalah komunikasi,dan komunikasi adalah budaya”. Dengan kata lain ketika
membahas budaya dan komunikasi sulit untuk memutuskan mana yang menjadi suara
dan mana yang menjadi gemanya. Alasannya adalah karena anda “mempelajari”
budaya anda melalui komunikasi dan pada saat yang sama komunikasi merupakan
refleksi budaya anda.
Fungsi dasar dari budaya adalah untuk melayani kebutuhan vital dan praktis manusia, untuk membentuk masyarakat juga untuk memelihara spesies, menurunkan pengetahuan dan pengalaman berharga ke generasi berikutnya, untuk menghemat biaya dan bahaya dari proses pembelajaran semuanya mulai dari kesalahan kecil selama proses coba-coba sampai kesalahan fatal.
Apabila
kita berbicara tentang kebudayaan maka kita akan langsung berhadapan dengan makna
dan arti tentang budaya itu sendiri. Secara umum budaya sendiri budaya atau
kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta
yaitu buddhayah, yang merupakan
bentuk jamak dari buddhi (budi atau
akal) diartikan sebagai hal- hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia,
dalam bahasa inggris kebudayaan disebut culture
yang berasal dari kata latin colere
yaitu mengolah atau mengerjakan dapat diartikan juga sebagai mengolah tanah atau
bertani, kata culture juga kadang
sering diterjemahkan sebagai “Kultur” dalam bahasa Indonesia.
Geertz
dalam bukunya “Mojokuto; Dinamika Sosial
Sebuah Kota di Jawa”, mengatakan bahwa budaya adalah suatu sistem makna dan
simbol yang disusun dalam pengertian dimana individu-individu mendefinisikan
dunianya, menyatakan perasaannya dan memberikan penilaian-penilaiannya, suatu
pola makna yang ditransmisikan secara historis, diwujudkan dalam bentuk-bentuk
simbolik melalui sarana dimana orang-orang mengkomunikasikan, mengabdikan, dan mengembangkan pengetahuan,
karena kebudayaan merupakan suatu sistem simbolik maka haruslah
dibaca, diterjemahkan dan diinterpretasikan.
Sementara
Selo Soemardjan dan Soeleman Soemardi merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil
karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan
kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah yang diperlukan oleh manusia
untuk menguasai alam sekitarnya agar kekuatan serta hasilnya dapat diabadikan
untuk keperluan masyarakat.
Komunikasi
adalah pendukung utama eksistensi sistem sosial karena tanpa terjadinya
komunikasi maka sekelompok orang yang berada dalam suatu wilayah tertentu tidak
dapat disebut sebagai masyarakat. Komunikasi juga menjadi sarana bagi manusia
untuk memahami dan menginterpretasikan situasi sekelilingnya.
Bagi
para pakar dari tradisi interaksional, komunikasi dan makna adalah reralitas
sosial yang nyata, dan penjelasan-penjelasan kognitif dipandang sebagai kurang
penting. Makna diciptakan dan ditopang oleh interaksi dalam kelompok-kelompok
sosial. Interaksi, mengukuhkan, memelihara, dan mengubah beberapa konvensi –
peran, norma, aturan-aturan, dan makna – didalam suatu kelompok sosial atau budaya
dan konvensi ini pada gilirannya mendefinisikan realitas atau budaya itu
sendiri.
Menurut
teori interaksionisme simbolik, interaksi sosial penting sebagai sebuah sarana
ataupun sebagai sebuah penyebab tingkah laku manusia. Dalam interaksi simbolik
terjadi penyajian gerak isyarat dan respon terhadap arti dari gerak isyarat
tersebut. Pihak-pihak yang berinteraksi mengambil peran secara seimbang sehingga
komunikasi dalam interaksi tersebut dapat berjalan efektif.
Dalam
interaksi simbolik orang menginterpretasikan masing-masing tindakan dan isyarat
orang lain berdasarkan arti yang dihasilkan dari interpretasi tersebut.
Pandangan ini kemudian diyakini oleh banyak teoretisi komunikasi sebagai
pendekatan yang lebih tepat untuk mengkaji fenomena dan realitas komunikasi
atau interaksi sosial dalam masyarakat.
2.1 Budaya
itu Dipelajari
Salah
satu karakter penting dari budaya adalah bahwa budaya itu dipelajari. Dari
lahir hingga akhir hidup anda, anda mencari dunia yang anda inginkan. Apa yang disambut
bayi yang baru lahir begitu membingungkan, dengan masa transisi yang singkat,
mendapati bahwa penglihatan, pendengaran, perasaaan, dan sensasi lain yang
dialaminya tidak mengandung arti. Kebingungan ini diatasi oleh budaya, anak
yang lahir dalam suatu masyarakat menemukan masalah yang sudah pernah dialami
semua orang yang lahir sebelumnya.
Seiring
dengan berpindahnya anak dari kata ke kata, kejadian ke kejadian, dan orang ke
orang, mereka berusaha mengerti. Arti yang diperoleh anak dari pengalaman ini
merupakan hasil dari budaya dan proses pembelajaran.
Seperti
yang digaris bawahi dalam pernyataan Ferraro, tanpa manfaat dari belajar pada
orang yang hidup sebelumnya, hidup akan menjadi sulit –kalau tidak mustahil.
Sebenarnya pengetahuan suatu kelompok
yang disimpan (dalam ingatan, buku, dan barang) untuk digunakan di masa
yang akan datang merupakan konsep utama dari budaya.
Ketika
kita membahas pembelajaran, kita menggunakan kata-kata yang bermakna cukup
luas. Apa yang kita bahas adalah tentang pembelajaran formal maupun informal.
Pembelajaran formal yang kadang sulit dikenali, biasanya terjadi melalui
interaksi, pengamatan dan imitasi. Pengajaran formal tentang budaya jauh lebih
terstruktur dan kadang tergantung pada institusi yang berada dalam budaya
tersebut, seperti sekolah dan tempat ibadah.
2.2 Budaya
itu Dibagikan
Cara
menyebarkan budaya dapat dalam berbagi bentuk (pepatah, cerita, karya seni) dan
dapat melihat banyak “penyebar” (keluarga, teman, media, sekolah, gereja),
tetapi elemen kunci dari budaya itu (nilai, ide, persepsi) harus dibagikan
diantara anggota suatu budaya. Dengan berbagi sejumlah persepsi dan tingkah
laku, anggota dari suatu budaya dapat juga membagikan identitas budaya mereka
yang umum. Identitas budaya ini menghasilkan suatu situasi dimana anggota dari
tiap budaya “mengenal mereka sendiri dan tradisi budayanya berbeda dari orang
lain dan tradisi orang lain.
2.3 Budaya itu Didasarkan pada Simbol
Hubungan
antara budaya dan simbol menjadi jelas ketika Ferraro menuliskan, “simbol
mengikat orang yang mungkin saja bukanlah bagian dari suatu kelompok yang
bersatu”. Portabilitas (sifat mudah dibawa) simbol memungkinkan orang untuk
membungkus, menyimpan, dan menyebarkannya. Pikiran, buku, gambar, film, tulisan
tentang agama, video, aksesori komputer dan sebagainya memungkinkan suatu
budaya melestarikan apa yang dianggap penting dan berharga untuk diturunkan.
Hal ini membuat setiap individu, tanpa memandang generasinya, mewarisi sejumlah
informasi yang sudah dikumpulkan dan dipertahankan sebagai antisipasi ketika ia
masuk dalam suatu budaya.
Simbol
merupakan segala sesuatu yang mengandung makna khusus yang diketahui oleh
orang-orang yang menyebarkan budaya. Simbol budaya dapat dalam bentuk, gerakan,
pakaian, objek, bendera, ikon keagamaan, dan sebagainya. walaupun begitu aspek
simbolis yang penting dari budaya adalah bahasa – penggunaan kata-kata untuk
mewakili benda dan pandangan. Melalui bahasa, kita dapat belajar dari
pengalaman yang terakumulasi dan dibagikan
2.4 Unsur-Unsur Kebudayaan
Seperti
yang dituliskan Haviland, seorang penulis Inggris mengatakan “Bagi manusia,
budayalah yang membatasi dan mengarahkan perilaku”. Budaya membuat segala
sesuatu jadi mudah. Mudah karena budaya melindungi orang dari yang tidak
diketahui dengan menawarkan mereka suatu gambaran tentang semua aktivitas
hidup. Walaupun mungkin orang dengan budaya yang berbeda akan menyimpang dari
gambaran ini, paling tidak mereka tahu apa yang diharapkan budaya pada mereka.
Budaya
terdiri atas elemen-elemen yang tidak terhitung jumlahnya (makanan, tempat
tinggal, pekerjaan, pertahanan, kontrol sosial, perlindungan psikologis,
keharmonisan sosial, tujuan hidup, dan lain-lain). Elemen-elemen yang membentuk
budaya adalah sejarah, agama, nilai-nilai, organisasi sosial, dan bahasa.
Mempelajari
unsur-unsur yang terdapat dalam sebuah kebudayaan sangat penting untuk memahami
kebudayaan manusia, Kluckhon dalam bukunya yang berjudul Universal Categories of Culture membagi kebudayaan yang ditemukan
pada semua bangsa di dunia dari sistem kebudayaan yang sederhana seperti masyarakat
pedesaan hingga sistem kebudayaan yang kompleks seperti masyarakat perkotaan.
Kluckhon
membagi sistem kebudayaan menjadi tujuh unsur kebudayaan universal atau disebut
dengan kultural universal. Menurut Koentjaraningrat, istilah universal
menunjukkan bahwa unsur-unsur kebudayaan bersifat universal dan dapat ditemukan
di dalam kebudayaan semua bangsa yang tersebar di berbagai penjuru dunia.
Ketujuh unsur kebudayaan tersebut adalah :
1.
Sistem Bahasa
Bahasa merupakan sarana
bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan sosialnya untuk berinteraksi atau
berhubungan dengan sesamanya. Dalam ilmu antropologi, studi mengenai bahasa
disebut dengan istilah antropologi linguistik. Menurut Keesing, kemampuan manusia
dalam membangun tradisi budaya, menciptakan pemahaman tentang fenomena sosial
yang diungkapkan secara simbolik, dan mewariskannya kepada generasi penerusnya
sangat bergantung pada bahasa. Dengan demikian, bahasa menduduki porsi yang
penting dalam analisa kebudayaan manusia.
2.
Sistem Pengetahuan
Sistem pengetahuan
dalam kultural universal berkaitan dengan sistem peralatan hidup dan teknologi
karena sistem pengetahuan bersifat abstrak dan berwujud di dalam ide manusia.
Sistem pengetahuan sangat luas batasannya karena mencakup pengetahuan manusia
tentang berbagai unsur yang digunakan dalam kehidupannya. Banyak suku bangsa
yang tidak dapat bertahan hidup apabila mereka tidak mengetahui dengan teliti pada
musim-musim apa berbagai jenis ikan pindah ke hulu sungai. Selain itu, manusia
tidak dapat membuat alat-alat apabila tidak mengetahui dengan teliti ciri ciri
bahan mentah yang mereka pakai untuk membuat alat-alat tersebut. Tiap
kebudayaan selalu mempunyai suatu himpunan pengetahuan tentang alam,
tumbuh-tumbuhan, binatang, benda, dan manusia yang ada di sekitarnya.
3.
Sistem Sosial
Unsur budaya berupa
sistem kekerabatan dan organisasi sosial merupakan usaha antropologi untuk
memahami bagaimana manusia membentuk masyarakat melalui berbagai kelompok
sosial. Menurut Koentjaraningrat tiap kelompok masyarakat kehidupannya diatur
oleh adat istiadat dan aturan-aturan mengenai berbagai macam kesatuan di dalam lingkungan
di mana dia hidup dan bergaul dari hari ke hari. Kesatuan sosial yang paling
dekat dan dasar adalah kerabatnya, yaitu keluarga inti yang dekat dan kerabat
yang lain. Selanjutnya, manusia akan digolongkan ke dalam tingkatantingkatan
lokalitas geografis untuk membentuk organisasi sosial dalam kehidupannya.
4.
Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
Manusia selalu berusaha
untuk mempertahankan hidupnya sehingga mereka akan selalu membuat peralatan
atau benda-benda tersebut. Perhatian awal para antropolog dalam memahami
kebudayaan manusia berdasarkan unsur teknologi yang dipakai suatu masyarakat berupa
benda-benda yang dijadikan sebagai peralatan hidup dengan bentuk dan teknologi
yang masih sederhana. Dengan demikian, bahasan tentang unsur kebudayaan yang
termasuk dalam peralatan hidup dan teknologi merupakan bahasan kebudayaan
fisik.
5.
Sistem Mata Pencaharian Hidup
Mata pencaharian atau
aktivitas ekonomi suatu masyarakat menjadi fokus kajian penting etnografi.
Penelitian etnografi mengenai sistem mata pencaharian mengkaji bagaimana cara
mata pencaharian suatu kelompok masyarakat atau sistem perekonomian mereka
untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
6.
Sistem Religi
Asal mula permasalahan
fungsi religi dalam masyarakat adalah adanya pertanyaan mengapa manusia percaya
kepada adanya suatu kekuatan gaib atau supranatural yang dianggap lebih tinggi
daripada manusia dan mengapa manusia itu melakukan berbagai cara untuk berkomunikasi
dan mencari hubungan-hubungan dengan kekuatan-kekuatan supranatural tersebut. Dalam
usaha untuk memecahkan pertanyaan mendasar yang menjadi penyebab lahirnya asal
mula religi tersebut, para ilmuwan sosial berasumsi bahwa religi suku-suku
bangsa di luar Eropa adalah sisa dari bentuk-bentuk religi kuno yang dianut
oleh seluruh umat manusia pada zaman dahulu ketika kebudayaan mereka masih
primitif.
7.
Kesenian
Perhatian ahli antropologi mengenai
seni bermula dari penelitian etnografi mengenai aktivitas kesenian suatu
masyarakat tradisional. Deskripsi yang dikumpulkan dalam penelitian tersebut
berisi mengenai benda-benda atau artefak yang memuat unsur seni, seperti
patung, ukiran, dan hiasan. Penulisan etnografi awal tentang unsur seni pada
kebudayaan manusia lebih mengarah pada teknikteknik dan proses pembuatan benda seni
tersebut. Selain itu, deskripsi etnografi awal tersebut juga meneliti perkembangan
seni musik, seni tari, dan seni drama dalam suatu masyarakat.
2.5 Agama
dan Simbol
Berkenaan
tentang pembahasan agama dan simbol, Emiel Durkheim berpendapat bahwa agama
adalah sistem yang menyatu mengenai kepercayaan dan peribadatan dengan
menggunakan benda-benda sakral, sedangkan Geertz dalam bukunya The Interpretation of Cultures
mengatakan bahwa agama adalah sistem kebudayaan yang erat hubungannya dengan
simbol-simbol.
Dari
beberapa pernyataan tokoh diatas dapat kita lihat bahwa agama erat kaitannya
dengan simbol sebagai media penghubung antara yang Esa dengan manusia, pada
kenyataannya seperti sholat dalam agama Islam yang merupakan gerakan simbolik
untuk memuja Allah, dalam agama–agama yang lain juga terdapat simbol dalam
berbagai rangkaian ritual pemujaan terhadap Tuhannya.
Pembentukan
simbol dalam agama adalah kunci yang membuka pintu pertemuan antara kebudayaan
dan agama, karena agama tidak mungkin dipikirkan tanpa simbol. Dalam prosesnya
dari ajaran- ajaran kepercayaan muncul adanya ritual-ritual yang diatur oleh
aturan tertentu sesuai dengan kepercayaan dan keyakinan atau adat tertentu
suatu masyarakat. Aturan seperti ini yang mengikat masyarakat atau kelompok masyarakat
untuk terus melakukannya dengan
harapan jauh dari malapetaka.
Mitos
yang seperti ini kemudian berubah menjadi ritual yang disertai dengan
penggunaan simbol dalam pelaksanaanya, simbol dalam ritus tersebut yang
kemudian menjadi benda-benda yang disakralkan dalam masyarakat. Contoh dalam hal
ini adalah upacara slametan sebagai bentuk ritual pemujaan terhadap Tuhan
dengan berbagai simbol dalam pelaksanaanya seperti Tumpeng, Sego Golong, apem
atau apapun itu.
Dalam
analisis inkulturasi pembentukan simbol ekspresif dalam peristiwa atau studi
kasus biasanya mencakup :
1. Tempat dan harapan. Tempat perayaan atau
upacara liturgy ekaristi yang biasanya diselenggarakan didalam sebuah bangunan
gereja, atau upacara pemujaan yang dilakukan masyarakat Hindu depan
altar-altar, umat muslim dalam masjid dengan menghadap arah kiblat.
2.
Waktu atau saat upacara, biasanya waktu
pelaksanaan ditetapkan merupakan salah satu ciri ritual yang sakral. Kaum
muslim menjalankan sholat dengan waktu tertentu. Seperti kebanyakan ritual dijawa
seperti selametan, ketentuan waktu diharapkan menjadi kekuatan yang
menghubungkan kehendak manusia dengan penguasa yang disembah atau dipuja.
3. Bilangan atau angka, seperti dipaparkan
dalam pembentukan simbol, bilangan atau angka merupakan suatu pembentukan
simbol yang ada hubungannya dengan inkulturasi. Seperti makna angka sembilan
dalam filosofi jawa yang umumnya mengandung makna simbolis tentang kehidupan.
Dalam filosofi jawa angka sembilan banyak dikaitkan dengan kekuatan kekuatan
metafisik serta kepercayaan mitos. Angka sembilan juga mempunyai peran penting
untuk menentukan hari beribadat, para ahli sihir dan dukun sejak dahulu kala
memakai angka sembilan untuk memilih hari peringatan arwah nenek moyang serta menentukan
rumus-rumus mantera.
4. Media bahasa, pemakaian bahasa merupakan
salah satu cara pengungkapan diri yang berfungsi sebagai pengantar pertemuan
antara manusia dan tuhan.
5. Media sikap, meliputi sikap yang
dilakukan umat beragama yang menandakan ketundukannya kepada tuhan.
6. Media tari, seperti yang dilaksanakan
kepercayaan-kepercayaan jawa untuk mengekspresikan ketakjuban dan ketundukan
terhadap pemimpin atau ruh nenek moyang yang mereka agungkan.
7. Media musik, inkulturasi pembentukan
media musik yang digunakan dalam liturgi jawa berupa kidungan, gendhing,
karawitan jawa dan slawatan. Musik atau lagu menjadi simbol ekspresif seni jawa
yang sangat menonjol hingga saat ini.
8.
Perlengkapan persembahan, bisa
diumpamakan dari perlengkapan pakaian yang dipakai, hingga benda-benda tertentu
yang dibutuhkan dalam kelancaran pelaksanaan ritual.
Dari
analisa beberapa studi kasus diatas dapat kita simpulkan bahwa kajian mengenai
simbol-simbol dan bagaimana simbol-simbol itu dimanfaatkan untuk mengkaji
masalah agama dan keagamaan, sebetulnya sangat menarik dan penting. Menarik
karena pendekatan simbolik terhadap masalah agama dan keagamaan ternyata
menghadirkan peluang yang sangat besar untuk bisa lebih memahami makna-makna
yang tersembunyi dibalik simbol-simbol agama, baik yang ada dibalik isi
teks-teks agama maupun dalam prilaku keagamaan. Penting karena ternyata
pendekatan semiotik ini bisa memberi suatu model pemecahan baru yang berbeda dengan
ketika agama dan keagamaan di dekati secara normatif yang cenderung doktrine.
Simbol
tidak saja kesederhanaan sebuah refleksi atas dunia alami sebagaimana yang
telah kita lihat dalam hubungan dengan peristiwa alam, melainkan simbol juga
merupakan refleksi dari kreatifitas dan imajinasi manusia. Simbol keagamaan
dapat dilihat sebagai sesuatu yang penuh arti. Dengan demikian agama sebagai
fakta dan sejarah memiliki dimensi simbolis atau mitis dan sosiologis. Demensi
simbolis atau mistis mengandung arti, bahwa agama merupakan struktur sebuah
makna (meaning structure) yang berada
pada ranah abstrak, terlepas dari ruang waktu.
2.6 Interaksi
Simbolik
Komunikasi
yang berlangsung dalam tatanan interpersonal tatap muka dialogis timbal balik
dinamakan interaksi simbolik (Symbolic
Interaction). Kini Interaksi Simbolik telah menjadi istilah komunikasi dan
sosiologi yang bersifat interdisipliner. Objek materialnya pun sama, yaitu
manusia dan perilaku manusia (human
behavior).
Interaksi
adalah istilah dan garapan sosiologi; sedangkan simbolik adalah garapan
komunikologi atau ilmu komunikasi. Kontribusi utama sosiologi pada perkembangan
ilmu psikologi sosial yang melahirkan perspektif interaksi simbolik.
Berdasarkan
apa yang menjadi dasar dari kehidupan kelompok manusia atau masyarakat,
beberapa ahli dari paham interaksi simbolik menunjuk pada “komunikasi” atau
secara lebih khusus “simbol-simbol” sebagai kunci untuk memahami kehidupan
manusia itu. Interaksi simbolik menunjuk pada sifat khas dari interaksi
antarmanusia. Artinya manusia saling menerjemahkan dan mendefenisikan
tindakannya, baik dalam interaksi dengan orang lain maupun dengan dirinya
sendiri. Proses interaksi yang terbentuk
melibatkan pemakaian simbol-simbol bahasa, ketentuan adat-istiadat, agama dan
pandangan-pandangan.
Interaksi
simbolik sebagai salah satu pendekatan dalam sosiologi diperkenalkan pertama
kali oleh Herbert Mead tahun 1934 di Universitas Chicago Amerika Serikat (Suprapto,
2002:127). Menurut Mead, interaksi sosial dalam masyarakat terjadi dalam bentuk
utama yaitu :
1. Percakapan
isyarat (interaksi nonsimbolik)
2. Penggunaan
simbol-simbol penting (interaksi simbolik).
Pernyataan
tersebut menegaskan bahwa penekanan interaksi simbolik adalah pada konteks simbol,
sebab di sini orang mencoba memahami makna atau maksud dari suatu aksi yang
dilakukan satu dengan yang lain.
Blumer
(dalam Veeger, 1993:224-227) mengembangkan lebih lanjut gagasan Mead dengan
mengatakan bahwa ada lima konsep dasar dalam interaksi simbolik, yaitu;
a. Konsep
diri (self), memandang manusia bukan
semata-mata organisme yang bergerak dibawah pengaruh stimulus, baik dari luar
maupun dari dalam, melainkan “organisme yang sadar akan dirinya” (an organism having a self). Ia mampu
memandang diri sebagai objek pikirannya dan bergaul atau berinteraksi dengan
diri sendiri.
b. Konsep
perbuatan (action), karena perbuatan
manusia dibentuk dalam dan melalui proses interaksi dengan diri sendiri, maka
perbuatan itu berlainan sama sekali dengan gerak makhluk lain selain manusia.
Manusia menghadapi berbagai persoalan kehidupannya dengan beranggapan bahwa ia
tidak dikendalikan oleh situasi, melainkan merasa diri di atasnya. Manusia
kemudian merancang perbuatannya. Perbuatan manusia itu tidak semata-mata sebagai
reaksi biologis, melainkan hasil konstruksinya.
c. Konsep
objek (object), memandang manusia
hidup di tengah-tengah objek. Objek itu dapat bersifat fisik seperti kursi,
atau khalayan, kebendaan atau abstrak seperti konsep kebebasan, atau agak kabur
seperti ajaran filsafat. Inti dari objek itu tidak ditentukan oleh ciri-ciri
instriknya, melainkan oleh minat orang dan arti yang dikenakan kepada
objek-objek itu.
d. Konsep
interaksi sosial (social interaction),
interaksi berarti bahwa setiap peserta masing-masing memindahkan diri mereka
secara mental ke dalam posisi orang lain. Dengan berbuat demikian, manusia
mencoba memahami maksud aksi yang dilakukan oleh orang lain, sehingga interaksi
dan komunikasi dimungkinkan terjadi. Interaksi itu tidak hanya berlangsung melalui
gerak-gerik saja, melainkan terutama melalui simbol-simbol yang perlu dipahami
dan dimengerti maknanya.
e. Konsep
tindakan bersama (joint action),
artinya aksi kolektif yang lahir dari perbuatan masing-masing peserta kemudian
dicocokan dan disesuaikan satu sama lain. Inti dari konsep ini adalah
penyerasian dan peleburan banyaknya arti, tujuan, pikiran dan sikap. Oleh
karena itu, interaksi sosial memerlukan banyaknya waktu untuk mencapai
keserasian dan peleburan. Eratnya kaitan antara aktivitas kehidupan manusia
dengan simbol-simbol karena memang kehidupan manusia salah satunya berada dalam
lingkungan simbolik.
Ketiga
asumsi tersebut kemudian melahirkan pokok-pokok pemikiran interaksi simbolik
yang menjadi ciri-ciri utamanya yaitu;
a) Interaksi
simbolik adalah proses-proses formatif dalam haknya sendiri,
b) Karena
hal tersebut, maka ia (interaksi simbolik) membentuk proses terus menerus yaitu
proses pengembangan atau penyesuaian tingkah laku, dimana hal ini dilakukan
melalui proses dualisme definisi dan interpretasi,
c) Proses
pembuatan interpretasi dan definisi dari tindakan satu orang ke orang lain
berpusat dalam diri manusia melalui interaksi simbolik yang menjangkau
bentuk-bentuk umum hubungan manusia secara luas (Mead dalam Suprapto (2002:163)).
Sementara
itu, Ritzer (1992:209) menyatakan bahwa teori interaksionisme simbolik
mengandung beberapa prinsip dasar sebagai berikut;
1. Manusia
tidak seperti binatang yang lebih rendah, karena manusia dikaruniai kapasitas
berpikir.
2. Kapasitas
berpikir tersebut terbentuk oleh adanya interaksi sosial.
3. Dalam
interaksi sosial, manusia mempelajari arti simbol-simbol yang memungkinkan
mereka menggunakan kemampuan khusus untuk berpikir.
4. Makna-makna
dan simbol-simbol memungkinkan manusia secara khusus membedakan aksi dan
interaksi.
5. Manusia
dapat mengubah makna-makna dan simbol-simbol yang mereka gunakan dalam aksi dan
interaksi berdasarkan interpretasi mereka terhadap situasi tertentu.
6. Manusia
dapat membuat modifikasi dan perubahan-perubahan karena kemampuan mereka berinteraksi dengan diri
mereka sendiri, yang memungkinkan mereka menguji aksi yang mana yang mungkin
dapat dijalankan, menilai kerugian dan keuntungan, serta memilih salah satunya.
Tokoh-tokoh
yang beraliran interaksi simbolik diantaranya adalah Wiliam James, James M.
Baldwin, John Dewey, George H. Mead, kemudian dilanjutkan oleh Charles Horton
Cooley, William I. Thomas dan Kuhn, dan Herbert Blumer. Para tokoh ini sepakat
menggunakan nama interaksi simbolik untuk menjelaskan suatu tindakan bersama,
pada saatnya nanti akan membentuk struktur sosial atau kelompok-kelompok
masyarakat lain melalui interaksi yang khas.
Teori
interaksi simbolik mengasumsikan bahwa individu-individu melalui aksi dan
interaksinya yang komunikatif, dengan memanfaatkan simbol-simbol bahasa serta isyarat
lainnya – yang akan mengonstruk masyarakatnya (Soeprapto, 2002).
3.1 Kesimpulan
Kebudayaan
merupakan elemen subjektif dan objektif yang dibuat manusia yang dimasa lalu
meningkatkan kemungkinan untuk bertahan hidup, melayani kebutuhan vital dan
praktis manusia –untuk membentuk masyarakat juga memelihara spesies, menurunkan
pengetahuan dan pengalaman berharga ke generasi berikutnya, untuk menghemat
biaya dan bahaya dari proses pembelajaran semuanya mulai dari kessalahan kecil
selama proses coba-coba sampai kesalahan fatal.
Interaksi
simbolik dalam ilmu sosial, khususnya komunikasi, merupakan teori dasar dan
variannya mencakup berbagai teori, diantaranya; labelling theory, teori
transformasi identitas. Teori tersebut dapat digunakan dalam menganalisis
gejala masyarakat, karena berakar dan berfokus pada hakikat manusia sebagai
makhluk relasional.
Interaksi
itu sendiri membutuhkan simbol-simbol tertentu. Keunikan dan dinamika simbol
dalam proses interaksi sosial menuntut manusia harus lebih kritis, peka, aktif,
dan kreatif dalam menginterpretasikan simbol yang muncul dalam interaksi
sosial. Jadi, teori ini memberikan pandangan yang menonjolkan mengenai perilaku
komunikasi antar manusia dalam konteks yang sangat luas dan bervariasi. Teori
ini dikembangkan dengan baik, mulai dari peranan diri kemudian berkembang pada
penelitian mengenai diri dalam masyarakat.
3.2 Referensi
Larry
A. Samovar, Richard E. Porter, Edwin R. McDaniel. 2010. Communication Between Cultures. Terjemahan; Komunikasi Lintas
Budaya. Penerbit Salemba Humanika. Jakarta.
Dedi
Ahmadi. 2005. Jurnal Ilmiah. Interaksi
Simbolik: Suatu Pengantar.
Nuryani
Tri Rahayu. 2010. Jurnal Ilmiah. Teori
Interaksi Simbolik dalam Kajian Komunikasi. FISIP Universitas Bantara
Sukoharjo.
Culture is a set of control mechanism..
BalasHapusI opened this site only for hear the playlist. very nice :)
BalasHapusVery nice
BalasHapus