-->

Kamis, 07 Mei 2015

Lemahnya Regulasi Penyiaran dalam Sistem Penyiaran Indonesia



ABSTRAK

Proses demokratisasi di Indonesia menempatkan publik sebagai pemilik dan pengendali utama ranah penyiaran. Oleh karena frekuensi adalah milik publik dan sifatnya terbatas, maka penggunaannya harus sebesar-besarnya bagi kepentingan publik. Sebesar-besarnya bagi kepentingan publik artinya adalah media penyiaran harus menjalankan fungsi pelayanan publik yang sehat. Penyiaran berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, kebudayaan, hiburan, kontrol sosial, perekat sosial, ekonomi, wahana pencerahan, dan pemberdayaan masyarakat.

Permasalahan utama dalam penyiaran Indonesia adalah tidak konsistennya pemerintah sebagai salah satu regulator penyiaran Indonesia, mandulnya regulator penyiaran yang lain, Komisi Penyiaran Indonesia, dan ketidaktaatan penyelenggara penyiaran di Indonesia, terutama stasiun televisi swasta yang beroperasi secara nasional. Di atas semuanya, ketidaktaatan pada regulasi utama media penyiaran adalah hulunya, yaitu pengabaian terhadap Undang Undang nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran yang sudah berlangsung selama satu dekade.
Tentu saja regulasi penyiaran sebagai sesuatu yang dinilai baru di tengah kehidupan masyarakat Indonesia dianggap perlu mendapat pengawasan dan pembinaan agar kebebasan yang diberikan dapat menjadi kebebasan yang bertanggung jawab dan tidak lepas kendali. Untuk itulah pemerintah pada menetapkan suatu regulasi dan pedoman etika untuk mengontrol perilaku pers tanpa membatasi kebebasan mereka.

Kata Kunci : Regulasi dan Penyiaran



PENDAHULUAN
Kebebasan bisnis media yang berkembang tanpa kendali membuat ranah penyiaran kita kehilangan asas keadilan, pemerataan, etika, sekaligus keberagaman. Dalam hal kepemilikan lembaga penyiaran oleh swasta, telah terjadi pelanggaran terang-terangan terhadap peraturan yang berlaku.
Contohnya, sejumlah korporasi lembaga penyiaran swasta bisa menguasai dua atau tiga stasiun penyiaran (televisi juga radio), dalam satu badan usaha, di satu wilayah siaran. Sebut saja korporasi MNC yang menguasai RCTI, Global TV dan MNC (dulu TPI) di wilayah Jakarta. Kemudian grup Elang Mahkota Teknologi (EMTK) memiliki SCTV dan Omni-TV (O Channel), ditambah upaya akuisisi grup EMTK terhadap Indosiar. Kemudian grup Visi Media Asia yang hendak masuk ke pasar modal dengan menguasai dua stasiun ANteve dan TVOne yang sama-sama berbasis di Jakarta.
Itu semua jelas melanggar pasal 18, pasal 20, pasal 34 ayat (4) Undang Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran serta Peraturan Pemerintah No 50 tahun 2005 pasal 34 ayat (1) huruf (a) tentang Lembaga Penyiaran Swasta. Sementara itu UU Penyiaran juga mengatur penyertaan modal asing dalam usaha penyiaran dibatasi maksimum 20%, kendati kenyataannya sudah seringkali dilanggar.
Pasal-pasal tersebut pada intinya melarang seseorang atau badan hukum memiliki dan atau menguasai lebih dari satu lembaga penyiaran swasta di satu daerah. Selain melarang konsentrasi kepemilikan, UU Penyiaran juga melarang pemindahtanganan izin penyelenggaraan siaran –dalam arti dijual atau dialihkan kepada badan hukum lain. Sanksi terhadap pelanggaran itu ialah pidana penjara (2-5 tahun), denda 500 juta sampai 10 milyar, serta pencabutan izin penyiaran.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah menyampaikan pandangan hukum atas rencana pengambilalihan stasiun penyiaran karena itu berpotensi melanggar hukum. Sayangnya, peringatan KPI itu diabaikan oleh “regulator negara” yaitu Bapepam dan Kementerian Kominfo. Kami menduga terjadi kongkalikong bisnis perizinan penyiaran dan penggunaan frekuensi yang membuat pelanggaran terhadap UU Penyiaran makin meluas, tanpa bisa dicegah. Kami berpendapat, aparatur pemerintah yang paling bertanggung jawab terhadap carut-marut kepemilikan stasiun penyiaran (TV dan radio) saat ini ialah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam).
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) adalah lembaga Negara yang bersifat independen yang ada di pusat maupun daerah yang tugas dan wewenangnya diatur dalam Undang-Undang  sebagai wujud peran serta masyarakat di bidang penyiaran. KPI melakukan peran-perannya sebagai wujud peran serta masyarakat yang berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran. Dalam menjalankan fungsinya, KPI juga mempunyai beberapa wewenang yaitu: (1) Menetapkan standar program siaran dan Menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran. (2) Mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program  siaran dan Melakukan koordinasi dan kerjasama dengan pemerintah, lembaga penyiaran dan masyarakat. (3) Memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran.
Regulasi Media adalah aturan-aturan dan kebijakan yang berkaitan dengan yang mengatur hubungan dan operasinal media massa. Regulasi sangat penting bagi keteraturan dan keseimbangan hubungan media dengan pemerintah, masyarakat, sesama industri media dan global media. (Umaimah : 2011)
Regulasi media tidak jarang dianggap sebagai suatu aturan yang bersifat membatasi, adanya kontrol penuh, bahkan dianggap sebagai penghalang atas kebebasan berekspresi. Namun, harus diakui bahwa regulasi media sangat diperlukan dalam situasi tertentu. Berikut terdapat tiga alasan pentingnya regulasi media (Ibid, 148).
Yang pertama adalah regulasi media membantu audience mendapatkan informasi sesuai dengan tuntutan kualitas tertentu. Yang kedua adalah regulasi mempunyai sisi di mana menjaga aturan pasar agar tidak terciptanya monopoli atau bahkan komersialisasi media. Sedangkan yang ketiga, regulasi bukanlah sebagai sarana dari kaum mayoritas untuk mendominasi kaum minoritas. Regulasi justru tetap dapat menjunjung tinggi nilai kebebasan berekspresi setiap individu. Regulasi bahkan dapat memaksa mayoritas untuk tetap mau membuka diri terhadap kritik atas penyimpangan yang telah dilakukan. Hal tersebut dilakukan demi mewujudkan prinsip pluralitas di Indonesia, di mana adanya sikap menghargai kesamaan individu dan memungkinkan partisipasi yang sama dalam proses demokrasi (Haryatmoko, 2007:149).


TINJAUAN PUSTAKA

Kajian Teori

A. The Scarcity Theory (Joseph R. Dominick)
Teori ini mengungkapkan bahwa pada hakekatnya jumlah frekuensi yang ada di muka bumi ini terbatas. Oleh karena itu, tidak semua individu dapat menggunakannya. Meskipun demikian, pada dasarnya kita memiliki hak yang sama untuk memanfaatkannya. Penentuan siapa yang boleh mengelola sebuah frekuensi menjadi penting karena logika yang berlawanan tersebut.

B. The Pervasive Presence Theory (Joseph R. Dominick)
Teori ini mengungkapkan bahwa media penyiaran mempunyai pengaruh yang sangat besar dengan variasi-variasi pesan yang dimilikinya. Dengan penetrasi yang besar bahkan menembus pada wilayah pribadi, perlu diaturlah agar semua kepentingan masyarakat dapat terlindungi dan terwadahi.

C. Agenda Setting
Teori ini di perkenalkan oleh Mc Combs dan DL Shaw dalam Public Opinion Quartely tahun 1972, berjudul The Agenda Setting Fumction of Mass Media. Asumsi dasarnya adalah bahwa jika media memberi tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Jadi, apa yang dianggap penting bagi media, maka penting juga bagi masyarakat.
Peran media massa cukup besar untuk mempengaruhi pikiran khalayak melalui penekanan berita yang disampaikan. Media massa digunakan sebagai alat untuk mengontruksi area kognitif audiensnya sehingga mereka mau mengubah pandangan-pandangan yang dianut ataupun perspektif-perspektif baru.

D. Regulasi Penyiaran
Regulasi penyiaran di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002. Dengan adanya UU tersebut, penyelenggaraan penyiaran mendapat kepastian hukum dan menjadi lebih tertib.
Menurut Mike Feintuck (1998) seperti yang dikutip Muhamad Mufid, dewasa ini regulasi penyiaran mencakup tiga hal, yakni regulasi struktur, tingkah laku, dan isi. Regulasi struktur (structural regulation) berisi kepemilikan media oleh pasar, regulasi tingkah laku (behavioral regulation) dimaksudkan untuk mengatur tata laksana penggunaan properti dalam kaitannya dengan kompetitor, dan regulasi isi (content regulation) berisi batasan material siaran yang boleh dan tidak untuk disiarkan.
Regulasi struktur berisi kepemilikan media oleh pasar. Maksudnya adalah bahwa frekuensi radio atau televisi yang diberikan pemerintah kepada penyelenggaraan media, ada hak kepemilikan masyarakat. Jadi pasar disini adalah masyarakat. Contohnya ketika masyarakat menerima informasi tayangan berita kriminal (misalnya SERGAP) tentang perkosaan berantai di Bali, kemudian ada perkembangan mengenai kasus tersebut, SERGAP kembali menyampaikan informasi bahwa ternyata kasus perkosaan berantai tidak hanya terjadi di Bali, namun pelaku juga beraksi di Batam. Tanpa informasi dari media, masyarakat tidak akan tahu perkembangan kasus tersebut. Dan oleh sebab itu, SERGAP terus mengikuti perkembangan kasus tersebut agar masyarakat tahu akan informasi dan terus waspada.
Regulasi tingkah laku dimaksudkan untuk mengatur tata laksana penggunaan properti dalam kaitannya dengan kompetitor. Regulasi tingkah laku tegantung kepada kreatifitas dan ide-ide dari setiap media itu sendiri dan tidak ada hubungannya dengan media yang lain. Jadi, tidak ada keterkaitan penggunaan properti media A dengan media B. Contohnya, dalam penggunaan properti, SERGAP mempunyai ciri khas yang berbeda dari program berita kriminal lainnya. Bang Napi yang merupakan icon SERGAP menggunakan topeng separuh muka.
Regulasi isi berisi batasan material siaran yang boleh dan tidak untuk disiarkan. Dalam program SERGAP isi siaran mengandung informasi pendidikan, kewaspadaan dan warning. Hal ini sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2002 pasal 36. Dalam penyiaran, isi siaran dilarang menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang.

E. Model-Model Regulasi Penyiaran
Dalam hubungannya dengan model kepemerintahan suatu negara, Leen d’Haenens seperti dikutip Muhamad Mufid membagi model regulasi penyiaran menjadi lima, yaitu:

a. Model Otoriter
Tujuan dari model ini lebih sebagai upaya menjadikan penyiaran sebagai alat negara. Radio dan televisi sedemikian rupa diarahkan untuk mendukung kebijakan pemerintah dan melestarikan kekuasaan. Ciri khas dari model ini kuatnya lembaga sensor terutama yang menyangkut keberbedaan. Dunia penyiaran selama Orde Baru praktis berada pada kondisi seperti ini.

b. Model Komunis
Aspek yang membedakan model komunis dan model lainnya ialah dilarangnya kepemilikan swasta, karena media dalam model ini dilihat sebagai milik kelas pekerja (biasanya terlambang kan dalam partai komunis) dan media merupakan sarana sosialisasi, edukasi, informasi dan motivasi.

c. Model Barat- Paternalistik
Sistem penyiaran ini banyak diterapkan oleh negara-negara Eropa Barat semisal Inggris. Sifat dari penyiaran ini adalah top-down dimana kebijakan media bukan apa yang audiens inginkan tapi lebih sebagai keyakinan penguasa bahwa kebijakan yang dibuat memang membutuhkan dan diinginkan oleh rakyat.

d. Model Barat- Liberal
Secara umum sama dengan model Paternalistik, hanya berbeda dalam fungsi media komersialnya. Disamping sebgai media penyedia informasi dan hiburan, media juga memiliki fungsi mengembangkan hubungan yang penting dengan aspek-aspek lain yang mendukung independensi ekonomi dan keuangan.

e. Demokratis- Participan Model
Model ini dikembangkan oleh mereka yang memercayai sebagai powerful medium. Termasuk dalam model ini adalah berbagai media penyiaran alternatif. Sifat komunikasi dalam model ini adalah dua arah.

F. Sanksi Regulasi Penyiaran
Sanksi terhadap pelanggaran regulasi penyiaran berupa sanksi administratif tertera pada pasal 55 UU No. 32 Tahun 2002 yaitu:
1)   Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (2), Pasal 20, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 26 Ayat (2), Pasal 27, Pasal 28, Pasal 33 Ayat (7), Pasal 34 Ayat (5) huruf a, huruf c, huruf d, dan huruf f, Pasal 36 Ayat (2), Ayat (3), dan Ayat (4), Pasal 39 Ayat (1), Pasal 43 Ayat (2), Pasal 44 Ayat (1), Pasal 46 Ayat (6), Ayat (7), Ayat (8), Ayat (9), dan Ayat (11), dikenai sanksi administratif.
2)   Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:
a. Teguran Tertulis
b. Penghentian sementara mata acara yang bermasalah setelah melalui tahap tertentu;
c. Pembatasan durasi dan waktu siaran;
d. Denda administratif;
e. Pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu;
f. Tidak diberi perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran;
g. Pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran.


G. Pelanggaran Regulasi Penyiaran

1. KPI Pusat melayangkan surat teguran kedua pada Trans 7 dan SCTV terkait adanya pelanggaran pada penayangan program siaran iklan “On Clinic” di kedua stasiun televisi tersebut. Pelanggaran yang dilakukan SCTV adalah penayangan materi dewasa berupa pengobatan vitalitas seksual pada jam anak dan remaja. Jenis pelanggaran ini dikategorikan sebagai pelanggaran atas perlindungan anak dan remaja, penggolongan program siaran, dan siaran iklan. Selain pelanggaran di atas, hasil pemantauan kami juga menemukan materi pelanggaran yang sama pada tanggal 8 Februari 2011 pukul 11.40 WIB, 29 Maret 2011 pukul 11.41 WIB, 31 Maret 2011 pukul 11.49 WIB, 5 April 2011 mulai pukul 11.50 WIB dan 7 April 2011 mulai pukul 11.37 WIB.
  Dalam waktu yang bersamaan KPI Pusat juga memberikan teguran kepada Trans7 dalam pelanggaran program yang sama. Pelanggaran yang dilakukan adalah penayangan materi pada 16 Februari 2011 pukul 12.09 WIB, 17 Februari 2011, pukul 12.14 WIB, 1 April 2011 pukul 17.04 WIB, 6 April 2011 mulai pukul 12.28 WIB  dan 9 April 2011 mulai pukul 12.13 WIB.

2. Acara reality show "Orang Ketiga" di Trans Tv  dapat dikatakan melanggar hak privasi seseorang disebabkan terjadinya penguntitan, perekaman tersembunyi di ruang privasi, terhadap seseorang tanpa izin sebelumnya dari orang yang bersangkutan serta penayangan wajah dan aib seseorang yang disiarkan kepada khalayak ramai. Hal ini merupakan masalah yang menimbulkan pertanyaan bagaimana dasar hukum suatu media massa televisi dapat menayangkan acara yang mengumbar privasi dan bagaimana tanggung jawab stasiun televisi jika terjadi suatu tuntutan dari pihak korban yang merasa terugikan oleh acara seperti itu. Namun daripada semuanya itu, Trans Tv tidak dapat dipidana oleh karena adanya perjanjian (alasan pembenar) antara Trans Tv dengan para pihak yang terlibat termasuk korban/target khususnya. Saran bagi Trans Tv harus memperhatikan dan menerapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya tentang privasi seseorang, penggantian istilah reality show dengan drama nyata, perekaan ulang setiap adegan dengan pemain tidak sebenarnya. Saran bagi KPI menyuluh setiap stasiun televisi mengenai cara beretika dan menerapkan peraturan hukum penyiaran khususnya program faktual terkait privasi orang dan bersama pemerintah membuat sanksi administratif dan pidana spesifik mengenai pelanggaran hak privasi dalam regulasi penyiaran.

3. Menurut Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) 2012, ada empat bentuk pelanggaran yang kerap dilakukan acara komedi. Pelanggaran tersebut yakni melecehkan orang dengan kondisi fisik dan pekerjaan tertentu, pelanggaran atas perlindungan anak, melanggar norma kesopanan dan kesusilaan serta melanggar penggolongan program siaran dengan klasifikasi remaja.
Delapan siaran yang menerima teguran itu yakni Sahurnya Pesbukers (ANTV), Yuk Kita Sahur (Trans TV), Sahurnya OVJ (Trans 7), Karnaval Ramadhan (Trans TV), Hafidz Indonesia (RCTI), Mengetuk Pintu Hati (SCTV), Promo Siaran Karnaval Ramadhan (Trans TV), dan Iklan PT Djarum edisi Ramadhan versi merawat orang tua.
Dalam berbagai acara komedi, beberapa adegan tidak pantas ditampilkan di ruang publik. Beberapa adegan yang tidak pantas itu adalah pelemparan tempung atau bedak ke wajah atau kepala, mendorong tanpa alasan jelas, menoyor kepala, menjejalkan sesuatu ke mulut, memukul dengan benda tertentu, hingga aksi mencium ketiak. Selain itu, acara komedi juga kerap menampilkan pemain pria yang berpakaian perempuan dan sebaliknya. Selain itu, banyak acara komedi menghadirkan kuis dengan pertanyaan sepele yang cenderung meremehkan kecerdasan publik.

4. Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Bali berdasarkan kewenangan menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) Pengaduan masyarakat, pemantauan dan hasil analisis siaran telah menemukan pelanggaran Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran Komisi Penyiaran Indonesia Tahun 2012 pada program siaran “Mr. Tukul Jalan-jalan”, Katagori Reality Show yang ditayangkan oleh Trans 7, pada tanggal 14, 15 dan 22 Pebruari 2015, pukul 23.00 wita.
     Program tersebut menampilkan Tukul sebagai Host yang tidak menggunakan pakaian yang pantas dan menggunakan Pura sebagai tempat pengambilan gambar untuk tayangan yang berbau mistik, horror, dan/atau supranatural.  KPID Bali, menilai tayangan tersebut tidak mencerminkan penghormatan terhadap suku, agama, ras,  dan/atau antar golongan serta tidak memperhatikan norma kesopanan dan kesusilaan dalam masyarakat yang sepatutnya di junjung tinggi. Jenis tayangan ini dikatagorikan sebagai pelanggaran atas penghormatan terhadap suku, agama, ras, dan/atau antar golongan serta kesopanan yang berlaku di masyarakat.

H. Alasan Kenapa Kita Butuh Regulasi Penyiaran
Pertama, masalah ekonomi. Ekonomi pasar mempunyai dua asumsi, yaitu: kompetisi akan menghasilkan sesuatu yang baik bagi masyarakat dan praktek bisnis yang tidak adil tidak diizinkan karena akan mengurangi kadar kompetisi. Maksudnya adalah kompetisi pada gilirannya diharapkan menghasilkan suatu produk yang baik dan murah yang bisa dijangkau masyarakat. Secara teoritis, perusahaan yang menghasilkan produk yang baik dengan harga yang murahlah yang akan bertahan dalam persaingan.
Kedua, regulasi dipeuntukkan bagi usaha-usaha yang memang secara notabene menghasilkan dampak negatif yang luas di masyarakat. Contoh yang pas untuk ini adalah peraturan mengenai tembakau atau rokok. Tembakau berdasarkan riset, mempunyai dampak buruk bagi kesehatan, tetapi masih juga diperdagangkan. Untuk itu maka pemerintah perlu membuat regulasi agar masyarakat lain yang memang tidak suka dengan tembakau bisa terjaga haknya untuk hidup secara sehat.
Ketiga, regulasi dibuat jika produk atau perusahaan menghasilkan dampak negatif bagi individu yang lebih besar daripada manfaatnya secara keseluruhan bagi masyarakat. Hak atas informasi tercantum dalam First Amandment. Orang berhak atas informasi yang ada disekitarnya dan media bertugas untuk menyampaikannya sesuai dengan fungsinya sebagai pengawas lingkungan. Namun, dalam usahanya menyampaikan informasi, cara bagaimana media mendapatkan informasi tersebut haruslah sesuai dengan peraturan yang ada.
Keempat, bagi pemberlakuan regulasi  mengenai arus informasi selama terjadinya perang. Ketika terjadi peperangan, maka pemerintah berhak untuk melakukan upaya sensor dan membatasi ruang gerak media jika dirasa itu membahayakan para tentara yang terlibat dalam peperangan. Adalah wajar jika selama perang, media lebih didominasi oleh pemberitaan yang sifatnya propaganda. Ini dimaksudkan agar moral para tentara tetap terjaga dan masyarakat mau mendukung pemerintah memenangkan peperangan tersebut.
Kelima, yang membuat pemerintah untuk memberlakukan regulasi adalah alasan keamanan dalam negerinya. Media dibatasi untuk meliput dan mengungkap sebuah kasus jika itu dirasa mengancam stabilitas dan keamanan dalam negeri.


ANALISIS ISI

Regulasi mengenai penyiaran di Indonesia yang ditetapkan oleh pemerintah pada dasarnya lebih spesifik ke bentuk regulasi mengenai penyiaran oleh media massa dan mengenai pers. Regulasi mengenai penyiaran pun lebih mengarah kepada penyiaran oleh media massa elektronik, hal ini dikarenakan bahwa definisi siaran itu sendiri lebih merujuk pada proses penyampaian informasi dalam bentuk audio, visual atau audiovisual.
Terlepas dari semua itu, pemerintah telah beritikad baik untuk mengontrol kebebasan media massa di Indonesia tanpa mengurangi kebebasan media massa itu sendiri. Walau bagaimanapun, kebebasan media massa harus menjadi kebebasan yang bertanggung jawab.
Penyebab lemahnya regulasi penyiaran di Indonesia adalah karena Kekuatan media yang dipercaya dan mampu mempengaruhi masyarakat adalah salah satu faktor utama mengapa beberapa media tidak “dikontrol”. Selain itu, alasan dengan dasar “demokrasi” dan kebebasan berpendapat membuat banyak pihak dengan bebas melakukan segala kepentingannya di media miliknya. Contoh jelas dari kasus ini adalah TvOne (yang dimiliki Aburizal Bakrie) dengan nuansa ARB dan iklan politiknya yang kental.
Pemanfaatan celah yang belum ada dan belum tercantum/dibahas dalam Undang-Undang juga membuat banyak pihak melakukan banyak hal sekehendak hati. Hal ini  berawal dari tidak adanya hukum yang jelas bagi mereka yang melanggar Undang-Undang penyiaran, sehingga banyak pihak cenderung mengacuhkan dan menilai bahwa Undang-Undang tersebut hanya sekedar formalitas belaka.
Hal inilah yang perlu diurus dan dibahas lebih lanjut. Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan banyak tidak diketahui oleh masyarakat awam, dan karena masyarakat terlalu terpaku dengan media, karena kurangnya literasi media, akan membuat mereka lebih percaya pada media massa daripada KPI dan sebagainya.
            Beberapa kerancuan terdapat pada beberapa pasal dalam UU No. 32 tahun 2002. Misalnya, pasal 14 UU No. 32 tahun 2002 yang menyebutkan “Lembaga Penyiaran Publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a adalah lembaga  penyiaran yang berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara, bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat.”
Pasal tersebut mengindikasikan bahwa lembaga penyiaran bersifat tidak komersial, namun pada pasal 15 disebutkan bahwa sumber  pembiayaan Lembaga Penyiaran Publik salah satunya berasal dari siaran iklan. Iklan merupakan suatu bentuk nyata dari komersialisasi. Siaran iklan sendiri menurut pasal 1 poin 5 merupakan siaran informasi yang bersifat komersial dan layanan masyarakat tentang tersedianya jasa, barang, dan gagasan yang dapat dimanfaatkan oleh khalayak dengan atau tanpa imbalan kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan.
Dengan adanya 2 poin yang bersifat anti atau bertolak belakang satu sama lain, mengenai komersialisasi, adalah suatu bahasan yang perlu direvisi. Kedua pasal tersebut menimbulkan suatu kontroversi dimana pada satu sisi lembaga penyiaran publik disebut  bukan merupakan badan hukum yang bersifat komersial, namun di sisi lain  pembiayaannya berasal dari siaran iklan yang bersifat komersial. Selain komersialisasi iklan, hal yang lebih dasar dna vital adalah mengenai kepemilikan media.
Dalam UU Penyiaran No 32 Tahun 2002 ada dua pasal yang menyinggung mengenai kepemilikian TV sebagai lembaga penyiaran, yaitu pada pasal 5 ayat (7). Mencegah monopoli kepemilikan dan mendukung persaingan yang sehat di  bidang penyiaran” dan pasal 18 ayat 1 “Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi”. Kedua pasal ini saling  bertentangan dan ambigu satu sama lain, dalam pasal 5 tertulis “mencegah monopoli” tetapi yang tertulis dalam pasal 18 terkesan membiarkan adanya kepemilikan lembaga  penyiaran swasta oleh satu orang saja (monopoli), terbukti dalam pasal tersebut hanya tercantum kata “dibatasi”, bukan “dilarang”.

  
KESIMPULAN

Sudah sepantasnya masyarakat mengetahui latar belakang permasalahannya. Dengan demikian, masyarakat mampu menempatkan posisi untuk menuntut hak-haknya secara memadai. Memang menonton televisi adalah gratis, namun tidak berarti stasiun televisi boleh melakukan kesewenang-wenangan. Karena ada harga yang harus dibayar oleh masyarakat penontonya, yaitu karakter, kepribadian, dan kemandirian.
Disinilah regulasi berperan untuk menjaga kepentingan masyarakat dari kepentingan-kepentingan tertentu. Tujuannya yaitu untuk meminimalisir masyarakat yang memiliki potensi besar untuk menjadi korban konvergensi media, khususnya generasi muda yang dianggap memiliki akses terhadap media konvergen dan rancunya batasan seberapa jauh isi media konvergen dianggap melanggar norma yang berlaku.
Namun, yang menarik ialah bahwa teknologi selalu mendahului regulasi. Bagaimana caranya mengontrol semua ini? Yang dianggap paling berwenang ialah negara karena negara dianggap penyeimbang antara pasar dan masyarakat. Di sisi lain negara mempunyai wewenang untuk menjaga efektifnya sebuah regulasi. Secara ideal hubungan antara negara, pasar, dan masyarakat seharusnya berjalan seimbang. Jangan sampai salah satu pihak mendominasi dan masyarakat hanya bisa menerima informasi apa yang diberikan media.

Saran – Saran
1. KPI perlu meningkatkan kapasitas pemantauan agar lebih maksimal dalam memantau siaran-siaran di media penyiaran.
2. KPI diharapkan lebih konsisten dan tegas dalam menegakkan rambu-rambu dalam P3SPS yang telah direvisi.
3.  Media penyiaran mesti lebih mengetatkan penegakan etika penyiaran agar lebih profesional dalam menyajikan tayangan di stasiun-stasiun penyiaran.
 4. Masyarakat diharapkan lebih bersikap selektif dalam memilih tayangan atau siaran karena berkaitan dengan jumlah rating suatu tayangan.


DAFTAR PUSTAKA

Buku
Sudibyo, Agus. 2004. Ekonomi Politik Media Penyiaran. LKIS. Yogyakarta.
Morisan. 2005. Media Penyiaran Strategi Mengelola Radio dan Televisi. Tangerang: Ramdina Prakarsa.
Mufid, Muhamad. 2007. Komunikasi dan Regulasi Penyiaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Jurnal, Internet, dan lain-lain
Undang-Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002
Rahayu, Dewi. Peranan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Terhadap Tayangan Infotainment di Televisi. Skripsi. Jakarta: UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta. Di akses tanggal 01 Mei 2015 pukul 17.45 WIB
Aisah, Siti. Implementasi Regulasi Penyiaran dalam Program Berita Kriminal SERGAP di RCTI. Skripsi. Jakarta: UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta. Di akses tanggal 01 Mei 2015 pukul 17.55 WIB
M.Rochim. Mengapa Kita Perlu Regulasi Penyiaran?. Jurnal. Di akses tanggal 01 Mei 2015 pukul 17.58 WIB

1 Comments: