-->

Kamis, 09 April 2015

Kaitan Antara Etika Komunikasi dan Masalah Pornografi dan Manipulasi Data di Media


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Salah satu kebutuhan manusia yang paling mendasar dan bersifat esensial adalah kebutuhan akan informasi. Informasi ini memberikan banyak makna bagi manusia, selain dapat mengikuti peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitarnya, juga dapat mencerdaskan kehidupan, memperluas cakrawala pandangan, dan dapat meningkatkan kedudukannya di tengah masyarakat.


Salah satu unsur penting yang berperan dalam penyebaran informasi adalah pers. Pers dapat menyampaikan informasi kepada sejumlah besar khalayak dalam waktu yang singkat. Pers yang berfungsi sebagai penyebar informasi dapat berperan dalam menyampaikan kebijaksanaan dan program pembangunan kepada masyarakat melalui media. Di samping itu masyarakat juga dapat menggunakan pers sebagai penyalur aspirasi dan pendapat serta kritik (control social).
Media mengemban tugas mulia yakni mendidik masyarakat. Namun realitas berkata lain. Media telah terseret dalam struktur ekonomi dan logika pasar (liberalisasi). Ia nyaris telah sepenuhnya menjadi salah satu alat produksi si pemodal atas kepentingan pasar. Keuntungan dan pragmatisme ekonomi dan pasar membuat media nyaris tak mampu berkelit untuk menunjukkan idealismenya. Gilirannya, keberhasilan media diukur hanya dengan keberhasilannya menghasilkan keuntungan, yang berefek dengan vulgar nya memberikan sajian informasi melalui media yang cenderung pornografi. Pornografi dapat terjadi pada tiga wilayah isi media.
Pertama gambar yang menyajikan perempuan yang berpakaian seronok, lokasi pengambilan gambar yang mendukung seperti tempat pelacuran, kamar pribadi, pose perempuan yang menantang birahi dan fokus pengambilan gambar pada alat kelamin atau kemaluan. Kedua pada kata-kata yang dipakai untuk mendeskripsikan proses adegan pornografi. Ketiga suara, ini terutama untuk media radio dan tv, misalnya rintihan kenikmatan, teriakan dan jenis-jenis suara yang menimbulkan efek imajinasi seksual tertentu.
Etika komunikasi juga dihadapkan polemic seputar pornografi yang juga disajikan oleh media.
Ada desakan perlu perlindungan warga dari kecenderungan pornografi. Ada pertimbangan paling minimal yang dapat diambil oleh media. Namun demikian andai hukum dibuat sebagai aturan agar pornografi dapat ditangkal, yang paling menjadi korban adalah perempuan. Etika komunikasi sangat perlu mempertimbangkan multikulturalisme.
Kepolisian RI menyatakan bahwa pembuat dan penyebar tayangan pornografi dapat diproses pidana dengan tuduhan melanggar Undang-undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi. Di samping itu, pelanggaran sosial pornografi dan kecabulan sesungguhnya telah diatur dalam KUHP pasal 282 sebagai bentuk pelanggaran kesusilaan yang berbunyi: mempertunjukkan atau menempelkan di depan umum, tulisan, gambar yang diketahui isinya melanggar kesusilaan diancam hukuman penjara maksimal 18 bulan. Dalam kode etik wartawan indonesia disebutkan bahwa wartawan indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis dan pornografi.
Secara garis besar membagi wacana porno ke dalam beberapa bentuk porno, yaitu pornografi, pornoteks, pornosuara, dan pornoaksi. Dalam kasus tertentu semua kategori ini dapat menjadi sajian dalam satu media, sehingga konsepnya menjadi pornomedia. Pornografi adalah gambar-gambar porno yang dapat diperoleh dalam bentuk foto dan gambar video. Pornoteks adalah karya pencabulan yang mengangkat cerita berbagai versi hubungan seksual dalam bentuk narasi, testimonial atau pengalaman pribadi secara detail atau vulgar, sehingga pembaca merasa ia menyaksikan sendiri, mengalami atau melakukan sendiri peristiwa hubungan-hubungan seks itu.
Pornosuara yaitu, suara atau tuturan dan kalimat-kalimat yang diucapkan seseorang yang langsung atau tidak langsung, bahkan secara halus atau vulgar tentang objek seksual atau aktivitas seksual, sedang pornoaksi adalah suatu penggambaran, aksi gerakan, lenggokan liukan tubuh yang tidak disengaja atau sengaja untuk memancing bangkitnya nafsu seksual. Pornoaksi pada awalnya adalah aksi-aksi objek seksual yang dipertontonkan secara langsung dari seseorang kepada orang lain, sehingga menimbulkan histeria seksual di masyarakat. Dalam konteks media massa, pornografi, pornoteks, pornosuara dan pornoaksi menjadi bagian yang saling berhubungan dengan karakter media yang menyiarkan porno itu. Namun dalam banyak kasus, pornografi (cetak) memiliki kedekatan dengan pornoteks karena gambar dalam teks dapat dilakukan dalam satu media cetak.
Media-media yang beredar saat ini banyak memanfaatkan pornografi dan pornoteks sebagai nilai jualnya akibat arus liberalisasi. Hal-hal inilah yang perlu diindahkan oleh para pers agar kebebasan pers menjadi sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan.

1.2 RUMUSAN MASALAH
Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
1. Apa itu Pornografi serta penjelasannya?
2. Apa yang menjadi pertimbangan mengapa etika komunikasi mendesak diterapkan dalam kerja-kerja media?
3. Jelaskan pengertian, konsep, dan ruang lingkup pornografi?
4. Bagaimana manipulasi media di Indonesia?
5. Apa strategi dalam manipulasi media?

1.3 TUJUAN MAKALAH
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk :
Memenuhi tugas mata kuliah Etika dan Filsafat Komunikasi dan Mengetahui serta memahami tentang paham Pornografi dan Manipulasi Data dalam Etika Komunikasi.

1.4 MANFAAT MAKALAH
Manfaat penulisan makalah ini adalah :
1. Menambah referensi pustaka yang berhubungan dengan Etika Komunikasi, Pornografi, dan Manipulasi data di media.
2. Pengalaman yang berharga bagi penulis dalam rangka menambah wawasan dan pengetahuan tentang Etika komunikasi khususnya dalam perspektif pornografi dan manipulasi data di media.

1.5 MANFAAT PENULISAN
Memberikan analisis mendalam yang membuat kita sadar bahwa komunikasi akan hancur lebur jika media mengikuti dan menjadi instrumen buta bagi kepentingan politik, kekuasaan, logika pasar, ekonomi, dan teknologi. Melalui makalah ini, Erik P. Simanullang selaku penulis makalah menyerukan agar etika komunikasi menjadi ruh yang mendasari seluruh program media.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PERTIMBANGAN ETIKA KOMUNIKASI HARUS DITERAPKAN DALAM KINERJA MEDIA
Minimal ada tiga pertimbangan mengapa etika komunikasi mendesak diterapkan dalam kerja-kerja media. Pertama, media mempunyai kekuasaan dan efek yang dahsyat terhadap publik. Realitas menunjukkan bahwa media ternyata rentan memanipulasi publik. Dengan demikian, etika komunikasi dibutuhkan untuk melindungi publik yang lemah dari manipulasi media.
Kedua, etika komunikasi merupakan upaya untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab media. Salah satunya adalah mengingatkan tendensi korporatis media besar yang selalu memonopoli kritik, sementara kerja-kerja mereka tidak mau dikritik dengan argumen kebebasan pers. Jangan sampai semua bentuk kritik terhadap media langsung dimasukkan ke keranjang stigma pembatasan atau pengebirian kebebasan pers.
Ketiga, etika komunikasi ingin menghindari dampak negatif dari logika instrumental media. Logika ini cenderung mengabaikan nilai dan makna, yang penting hanyalah mempertahankan eksistensi media di depan publik. Sedangkan tujuan media sebagai sarana pencerahan masyarakat kurang mendapat perhatian. Padahal nilai dan makna melekat pada tujuan suatu tindakan, sedangkan logika instrumental sering menjadikan sarana atau instrumen sebagai tujuan pada dirinya.
Setelah menegaskan urgensi etika komunikasi dalam praktik media, menyerukan agar para pelaku media kembali pada prinsip-prinsip utama deontologi jurnalisme. Prinsip-prinsip deontologi jurnalisme adalah hormat dan perlindungan atas hak warga negara akan informasi dan sarana-sarana yang perlu untuk mendapatkannya, hormat dan perlindungan atas hak individual lain dari warga negara, dan ajakan untuk menjaga harmoni dalam kehidupan masyarakat dengan menyajikan informasi yang benar.


2.2 PENGERTIAN, KONSEP, DAN RUANG LINGKUP PORNOGRAFI

Pornografi berasal dari kata Yunani, yaitu porne yang berarti pelacur; grape yang berarti tulisan atau gambar. Jadi pengertian pornografi sebenarnya lebih menunjuk pada segala karya baik yang dituangkan dalam bentuk tulisan atau lukisan yang menggambarkan pelacur (Ade Armando, 2003:1).
Pornografi dapat didefinisikan sebagai representasi eksplisit (gambar, tulisan, lukisan, dan foto) dari aktivitas seksual atau hal yang tidak senonoh, mesum atau cabul yang dimaksudkan untuk dikomunikasikan ke publik (R. Ogien, 2003: 31, 47). Mesum, cabul atau tidak senonoh dipahami sebagai sesuatu yang melukai dengan sengaja rasa malu atau rasa susila dengan membangkitkan representasi seksualitas. Bisa saja penilaian ini dituduh bersifat subjektif karena mengacu pada situasi mental atau afektif seseorang. Akan tetapi, ukuran tidak hanya berhenti pada subjektivitas semacam itu, karya yang “mesum, cabul, atau tidak senonoh” itu didasarkan juga atas penilaian komunitas setempat atau oleh setiap orang yang sehat akal. Definisi tersebut akan lebih meyakinkan lagi bila karya itu tidak mengandung nilai seni, sastra, ilmiah atau politik.
Menurut Tukan yang membatasi pornografi sebagai penyajian seks secara terisolir terdapat dalam bentuk tulisan, gambar, foto, film, video kaset, pertunjukkan, pementasan dan ucapan dengan maksud merangsang nafsu birahi. Sedangkan menurut Tong, pornografi merupakan propaganda patriarkal yang menekankan perempuan adalah milik, pelayan, asisten dan mainan laki-laki. Andrea Drowkin berpandangan pornografi adalah sebuah industri yang menjual perempuan, pornografi adalah bentuk kekerasan terhadap perempuan, pornografi menyebarkan kekerasan terhadap perempuan, pornografi mendehumanisasi seluruh perempuan dan pornografi menggunakan rasisme dan anti semitisme untuk menyebarkan pelecehan seksual.
Dari batasan-batasan tersebut di atas tampak bahwa pengertian pornografi telah mengalami pengembangan. Dari yang semula hanya mencakup karya tulis atau gambar, seiring dengan perkembangan teknologi media massa, ruang lingkup pornografi mengalami perluasan yang mencakup jenis media lain seperti televisi, radio, film, billboard, iklan dan sebagainya. Maka sampailah pornografi pada batasan sebagai “materi” yang disajikan di media tertentu yang ditujukan untuk membangkitkan hasrat seksual khalayak atau mengeksploitasi seks.

Disini unsur media menjadi suatu patokan utama berkait dengan batasan pornografi tersebut. Media yang dimaksud dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) kelompok besar yaitu:
• Media audio, diantaranya siaran radio, kaset, CD, telepon, ragam media audio lain yang dapat diakses di internet.
• Media audio-visual, seperti program televisi, film layar lebar, video, laser disc, VCD, DVD, game komputer, atau ragam media audio visual lain yang dapat diakses di internet.
• Media visual, berupa koran, majalah, tabloid, buku (karya sastra, novel, buku non-fiksi) komik, iklanbillboard, lukisan, foto atau bahkan media permainan seperti kartu.
Banyaknya hal yang mengandung unsur pornografi dan masih secara bebas untuk diakses memiliki dampak-dampak yang negatif bagi masing-masing individu. Fatamorgana tentang pornografi yang terlanjur tercipta secara tidak sengaja oleh otak yang biasa mengaksesnya:
1. Pornografi membuat cara berfikir seseorang menjadi penuh dengan seks semata, pikiran seks akan menguasai alam bawah sadar mereka.
2. Pornografi menjadi ajang promosi terhadap praktek seksual yang menyimpang.
3. Pornografi akan membawa seseorang terhadap penggunaan waktu dan uang dengan sangat buruk.
4. Dengan sering melihat situs porno atau membeli film / majalah porno,orang-orang tersebut mendukung perkembangan industri pornografi yang biasanya dikelola oleh ‘kejahatan terorganisir’ yang mencari dana dengan cara haram.
5. Terbiasa melihat pornografi akan merusak hubungan orang tersebut dengan lingkungannya,dalam hal ini keluarga atau orang-orang terdekatnya.
6. Dalam banyak kasus, pornografi membuat seseorang kehilangan daya kerjanya.
7. Melihat pornografi akan membuat seseorang menjadi sering berbohong.


2.3 PORNOGRAFI DALAM BINGKAI NILAI DAN NORMA

Indonesia merupakan salah satu negara yang masih menganut budaya ketimuran, yang sangat berbeda dengan budaya barat. Meskipun saat ini budaya-budaya tersebut mulai meluntur akibat arus globalisasi yang begitu deras, namun norma-norma sosial yang ada maih tetap berlaku untuk menjaga nilai-nilai negara ini. Pornografi dan pornoaksi jika dipandang melalui kacamata norma apapun akan dianggap sebuah pelanggaran.
1. Norma Agama merupakan ajaran, perintah, dan larangan yang berasal dari Tuhan. Dalam agama apapun yang diyakini di Indonesia, perzinahan tidak pernah dianggap benar, apalagi sampai dipublikasikan kepada khalayak luas. Di Indonesia sendiri agama Islam adalah agama yang dominan sehingga tentu saja sebagian besar masyarakat Indonesia akan menentang adanya pornografi dan pornoaksi.
2. Norma kesusilaan yaitu norma yang datangnya dari suara hati manusia. Apabila seseorang melakukan tindakan pornografi ataupun pornoaksi, tentunya ia tahu bahwa apa yang ia lakukan adalah hal yang salah. Namun mungkin adanya hawa nafsu atau adanya desakan ekonomi yang lebih besar membuat ia tetap melakukan hal tersebut.
3. Norma kesopanan merupakan norma yang dibuat oleh masyarakat untuk mengatur pergaulan di dalam masyarakat itu sendiri. Pornografi dan pornoaksi jika dipandang melalui norma ini tentu saja salah. Jika seseorang berpakaian terlalu minim atau beradegan mesum di ruang publik, jelas sangat keluar dari asas kesopanan. Meskipun di beberapa kota besar di Indonesia hal tersebut tidak lagi menjadi masalah, namun sebagian besar masyarakat tetap menganggap itu melanggar norma kesopanan.
4. Norma hukum adalah peraturan yang dibuat oleh suatu lembaga yang mengikat serta memaksa setiap orang. Dalam Undang Undang Republik Indonesia No. 44 Tahun 2008 telah dijelaskan bahwa pornografi dan pornoaksi adalah hal yang melanggar hukum dan terdapat hukum pidana bagi siapa saja yang melanggarnya.
Norma-norma yang telah dibuat harus kita pertahankan demi terjaganya nilai-nilai sosial yang positif. Hal ini membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak yang ada di masyarakat. Cara yang dapat kita tempuh yaitu dengan masing-masing orang menjalankan perannya dengan baik. Hal ini diutamakan untuk para tokoh masyarakat, karena merekalah yang menjadi panutan masyarakat dan bertugas memberikan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan.


2.4 ARGUMEN PENOLAKAN PORNOGRAFI

Dalam debat politik, biasanya ada tiga alasan utama yang dikemukakan untuk menolak pornografi, ialah pertama, perlindungan terhadap orang muda atau anak-anak, kedua mencegah perendahan martabat perempuan, ketiga mencegah sifat subversifnya yang cenderung menghancurkan tatanan nilai seksual keluarga dan masyarakat (ibid, 2003: 7). Pornografi dikhawatirkan akan mengganggu anak-anak atau remaja sehingga akan mengalami gangguan psikis dan kekacauan dalam perilaku yang mirip dengan bila mereka mengalami pelecehan seksual. Pornografi cenderung akan dipakai oleh remaja sebagai pegangan perilaku seksual. Padahal dalam program tersebut sama sekali tidak ada ungkapan perasaan, mengabaikan afeksi, mereduksi pasangan perempuan melulu sebagai objek pemuasan diri.
Pornografi cenderung membangkitkan suasana kekerasan terhadap perempuan. Dengan bahasa lugas, pornografi dianggap akan menimbulkan rangsangan seksual sehingga akan mendorong perilaku yang membahayakan atau merugikan orang lain dan dirinya sendiri. Bahkan seandainya pornografi tidak merangsang lagi, bukan berarti tidak membahayakan psikologis anak. Selain itu, penyebaran pornografi secara meluas dikhawatirkan akan meningkatkan kekerasan terhadap perempuan.
Bahkan menurut etika minimal, pornografi melukai pihak lain. Etika minimal terdiri atas tiga pilar (R. Ogien, 2003: 12-13), yaitu pertama, sikap netral terhadap konsepsi yang ‘baik’. Konsepsi ini menghargai hak akan kemandirian moral yang dalam kasus ini berarti kebebasan memilih apa yang baik bagi dirinya dalam hal seksualitas. Kedua, prinsip menghindar dari merugikan pihak lain. Prinsip ini berasal dari cara berfikir konsekuensialis yang sangat peduli pada efek yang menimpa individu, bisa berupa kerugian fisik atau psikologis. Ketiga, prinsip untuk menempatkan nilai yang sama pada suara atau kepentingan setiap orang. Prinsip ini berasal dari tradisi deontologi di mana kewajiban setiap orang untuk tidak menjadikan orang lain sebagai sarana, tetapi tujuan pada dirinya. Prinsip kedua dan ketiga menjamin kesetaraan, maka berfungsi mengatur hubungan dengan pihak lain, dengan menghindari semua bentuk paternalisme.


2.5 MANIPULASI MEDIA DI INDONESIA

Tanah, air dan udara, –merupakan sumber daya yang terbatas dan memiliki nilai yang sangat berharga– harus dikuasai negara dan sebesar-besarnya digunakan untuk kepentingan rakyat. Namun sayangnya di Indonesia, frekuensi publik sebagai kekayaan udara dieksploitasi sedemikian rupa oleh para pemilik media (khususnya televisi), dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan ekonomi dan politik mereka sendiri tanpa memikirkan kepentingan publik. Benar-benar negara ini sudah terbeli!
Setelah reformasi (1998), dengan cepat konglomerasi media menjadi corak industri media di Indonesia dan semakin hari kita menyaksikan pola itu berkembang semakin pesat. Mencengkeram semakin dalam pada sistem operasi media di Indonesia. Ribuan media dengan aneka format baik itu cetak, online, radio, televisi, yang informasinya kita baca, kita lihat dan kita dengar setiap hari ternyata hanya dikendalikan oleh 12 group media saja.
12 group media dengan pemilik yang memiliki kepentingannya sendiri-sendiri, membanjiri publik dengan tayangan-tayangan dalam kanal-kanal media milik mereka yang me-manisfestasi-kan kepentingan yang jelas bukan merupakan kepentingan publik. 12 grup media itu mengendalikan ribuan media dengan aneka format. Nah, untuk seluruh televisi di negeri ini hanya dimiliki oleh 5 orang saja. Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie adalah pemilik TVOne dan ANTV; Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh adalah pemilik MetroTV; Ketua Dewan Pakar Partai Nasdem Harry Tanoesodibjo (kini telah keluar dari Nasdem) adalah pemilik RCTI, GlobalTV dan MNCTV; Chairul Tanjung adalah pemilik TransTV dan Trans7. Yang akibatnya, televisi menjadi kerap melakukan politisasi dalam sebuah berita antara lain dengan memilih narasumber yang cenderung berpihak kepada mereka. Hanya Eddy Kurnadi Sariaatmadja pemilik SCTV dan Indosiar yang tidak memiliki afiliasi langsung dengan partai politik.
Jelas, masyarakat sebagai konsumen merupakan pihak yang paling dirugikan akibat perilaku media yang menggunakan frekuensi untuk kepentingan pribadi. Kanal-kanal yang seharusnya digunakan untuk memberikan edukasi yang benar justru digunakan oleh pemilik media untuk melawan musuh-musuhnya. Frekuensi publik digunakan untuk kepentingan mereka, aktivitas kegiatan ketua parpol yang sekaligus pemilik media disiarkan selama ber-jam-jam. Tidak hanya pada kemasan berita, tapi juga kemasan lain seperti acara hiburan, talkshow, bahkan running text, “pesan politik” pemilik televisi tersebut disisipkan.


2.6 8 STRATEGI MANIPULASI MEDIA

1. Strategi Penebaran Gangguan
Untuk mengalihkan perhatian publik dari isu-isu penting dan perubahan yang ditentukan oleh elit politik dan ekonomi, dengan teknik banjir atau banjir gangguan terus menerus, dan informasi yang tidak signifikan. Strategi gangguan juga penting untuk mencegah minat publik dalam pengetahuan penting di bidang ilmu pengetahuan, ekonomi, psikologi, neurobiologi dan cybernetics. Mempertahankan perhatian publik yang dialihkan jauh dari masalah sosial yang nyata, sehingga terpikat oleh hal-hal yang sebenarnya tidak penting. Inilah yang menjadi salah satu unsur terpenting dari kontrol sosial yaitu strategi penebaran gangguan yang bertujuan untuk mengalihkan perhatian publik dari isu-isu penting. Strategi penebaran gangguan sangat penting untuk menjaga agar masyarakat lebih berfokus pada isu-isu “kacangan” sehingga melupakan isu-isu krusial yang berhubungan dengan hidup dan kehidupan rakyat.

2. Buat Masalah, Kemudian Tawarkan Solusi atau Manajemen Konflik
Metode ini juga disebut “masalah-reaksi-solusi.” Ini menciptakan masalah, “sebuah situasi” yang disebut menyebabkan beberapa reaksi pada penonton, jadi ini adalah pokok dari langkah-langkah yang ingin Anda terima. Misalnya: biarkan terungkap dan mengintensifkan kekerasan perkotaan, atau mengatur serangan berdarah agar masyarakat adalah pemohon hukum keamanan dan kebijakan yang merugikan kebebasan. Atau: menciptakan krisis ekonomi untuk menerima sebagai retret kejahatan yang diperlukan hak-hak sosial dan pembongkaran masalah pelayanan publik. Menciptakan masalah yang dapat menyebabkan rakyat “mengemis” memohon pertolongan pada pemerintah sudah tidak menjadi hal baru, Hampir semua pemerintahan di dunia melakukan hal seperti ini. Pemerintah menjadi “sinterklas” bagi masalah yang dibuatnya sendiri.

3. Strategi Bertahap
Penerimaan pada tingkatan yang tidak dapat diterima, hanya dengan menerapkannya secara bertahap, tahan selama bertahun-tahun dan berturut-turut. Itulah bagaimana mereka memberlakukan kondisi sosial ekonomi baru (neoliberalisme) secara radikal.

4. Strategi Menunda
Cara lain untuk dapat menerima keputusan yang tidak populer adalah untuk menampilkan bahwa hal itu sebagai sesuatu yang “menyakitkan dan perlu”, akan mendapatkan penerimaan publik, pada saat penerapannya di masa depan. Lebih mudah untuk menerima bahwa pengorbanan masa depan daripada pembantaian segera. Pertama, karena upaya itu tidak digunakan segera. Kemudian, karena masyarakat, massa, selalu kecenderungan untuk mengharapkan naif bahwa “segala sesuatu akan lebih baik besok” dan bahwa pengorbanan yang diperlukan mungkin bisa dihindari. Hal ini memberikan lebih banyak waktu bagi masyarakat untuk membiasakan diri dengan gagasan perubahan dan menerimanya dengan pasrah ketika saatnya tiba.

5. Pergi ke Publik Seperti Seorang Anak Kecil
Sebagian besar iklan untuk masyarakat umum menggunakan pidato, argumen, orang dan khususnya intonasi anak-anak, sering dekat dengan kelemahan, seolah-olah penonton adalah anak kecil atau cacat mental. Yang lebih keras mencoba untuk menipu pandangan penonton, semakin ia cenderung untuk mengadopsi nada infantilizing (kekanak-kanakan). Mengapa? “Jika seseorang pergi kepada seseorang seolah-olah dia usia 12 tahun atau kurang, maka, karena saran, ia cenderung dengan probabilitas tertentu yang respon atau reaksi juga tanpa rasa kritis sebagai pribadi 12 tahun atau lebih muda. (kutipan dari buku Silent Weapons for Quiet War). Anak-anak adalah simbol pihak yang lemah, rentan disakiti dan senantiasa menjadi korban. Strategi seperti inilah yang sangat sering diterapak oleh esbeye dalam mencari simpati rakyat. Dia selalu muncul seakan-akan sebagai figur lemah dan teraniaya padahal dia sedang menjalankan program peningkatan citra dan simpati rakyat.

6. Jauhkan Masyarakat Dalam Kebodohan dan Biasa-biasa Saja
Membuat publik tidak mampu memahami teknologi dan metode yang digunakan untuk mengontrol dan memperbudak. “Kualitas pendidikan yang diberikan kepada kelas-kelas sosial yang lebih rendah harus menjadi miskin dan biasa-biasa saja mungkin, sehingga kesenjangan ketidaktahuan pihaknya berencana di kelas bawah dan kelas atas adalah dan tetap tidak mungkin dicapai untuk kelas bawah (Lihat buku Silent Weapons for Quiet War). Membuat rakyat tidak dapat mengakses pendidikan dan teknologi yang sebenarnya dapat berfungsi untuk mengontrol pemerintahan dan pembodohan yang mereka lakukan. Rakyat harus dibiasakan dan dipertahankan rasa puasnya pada kondisi keterbelakangan mereka sehingga protes yang dilakukan hanya pada hal-hal sepele.

7. Mendorong Masyarakat untuk Puas Dengan Kondisi Yang Biasa-biasa Saja
Promosikan kepada masyarakat untuk percaya bahwa faktanya menjadi bodoh, vulgar dan tidak berpendidikan adalah sesuatu yang modis.

8. Mengenal Individu Lebih Baik dari pada yang Mereka Ketahui Tentang Diri Mereka Sendiri
Selama 50 tahun terakhir, kemajuan ilmu pengetahuan yang dipercepat telah menghasilkan kesenjangan yang tumbuh antara pengetahuan umum dan pengetahuan yang dimiliki dan dioperasikan kelompok elit yang dominan. Berkat biologi, neurobiologi dan psikologi terapan, “sistem” telah menikmati pemahaman yang canggih dari manusia, baik secara fisik maupun psikologis. Sistem ini telah menjadi lebih baik mengenali orang-orang biasa, bahkan lebih dari dia tahu dirinya sendiri. Ini berarti bahwa, dalam banyak kasus, sistem menggunakan kontrol yang lebih besar dan kekuasaan besar atas individu, lebih besar dari individu tentang diri mereka sendiri. Jelaslah bahwa media mempunyai arti penting dalam proses politik. Siapa yang menguasai media akan mampu menyetir opini publik agar sejalan dengan pikirannya. Dan inilah juga yang sedang dimainkan jaringan Zionist Internasional atau Zion Global yang kebetulan menguasai lembaga-lembaga industri, hiburan, dan financial –yang kebtulan lainnya mayoritas tinggal dan berada di Amerika”


BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Media mengemban tugas mulia yakni mendidik masyarakat. Namun realitas berkata lain. Media telah terseret dalam struktur ekonomi dan logika pasar (liberalisasi). Ia nyaris telah sepenuhnya menjadi salah satu alat produksi si pemodal atas kepentingan pasar. Keuntungan dan pragmatisme ekonomi dan pasar membuat media nyaris tak mampu berkelit untuk menunjukkan idealismenya. Gilirannya, keberhasilan media diukur hanya dengan keberhasilannya menghasilkan keuntungan, yang berefek dengan vulgar nya memberikan sajian informasi melalui media yang cenderung pornografi.
Media mempunyai kekuasaan dan efek yang dahsyat terhadap publik. Realitas menunjukkan bahwa media ternyata rentan memanipulasi publik. Dengan demikian, etika komunikasi dibutuhkan untuk melindungi publik yang lemah dari manipulasi media.
Masyarakat sebagai konsumen merupakan pihak yang paling dirugikan akibat perilaku media yang menggunakan frekuensi untuk kepentingan pribadi. Kanal-kanal yang seharusnya digunakan untuk memberikan edukasi yang benar justru digunakan oleh pemilik media untuk melawan musuh-musuhnya.


3.2 SARAN
Para pelaku media kembali pada prinsip-prinsip utama deontologi jurnalisme. Prinsip-prinsip deontologi jurnalisme adalah hormat dan perlindungan atas hak warga negara akan informasi dan sarana-sarana yang perlu untuk mendapatkannya, hormat dan perlindungan atas hak individual lain dari warga negara, dan ajakan untuk menjaga harmoni dalam kehidupan masyarakat dengan menyajikan informasi yang benar.


DAFTAR PUSTAKA

Haryatmoko. 2007. Etika Komunikasi, Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

http://renzotherside.blogspot.com/2012/01/etika-komunikasi-pornografi-dalam.html
(Di akses tanggal 18 November 2014, Pukul 09.44 wib)

http://ratnafattah.blogspot.com/2011/03/pornografi-efek-dari-liberalisasi-media.html
(Di akses tanggal 18 November 2014, Pukul 09.50 wib)

http://ungumerahmuda.blogspot.com/2012/11/etika-komunikasi-dan-masalah-pornografi.html
(Di akses tanggal 18 November 2014, Pukul 10.00 wib)

http://savitriart.blogspot.com/2013/09/10-strategi-manipulasi-media.html
(Di akses tanggal 20 November 2014, Pukul 09.15 wib)

http://infozaman.blogspot.com/2014/11/manipulasi-media-massa.html
(Di akses tanggal 20 November 2014, Pukul 09.44 wib)




Posting Komentar